Seni Pertunjukan Indonesia Melintas Batas



Seni Pertunjukan Indonesia Melintas Batas
Matthew Isaac Cohen; Alessandra Lopez Y. Royo; Laura Noszlopy
Terjemahan: Noor Cholis
Dimuat di: Indonesia And Malay World, Volume 35, Issue 101 Maret 2007, h. 1 – 7.


Edisi kali ini menyajikan semacam rangkaian tulisan historis tentang teater, tari, dan musik dari Indonesia, sejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Semua artikel yang dimuat berkeyakinan bahwa abad lalu adalah periode perubahan besar bagi seni pertunjukan modern maupun tradisional, yang turut mencuat bersama kemajuan dalam komunikasi dan transportasi dan keterbukaan Indonesia bagi kapitalisme multinasional.
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering dianggap statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah atau pusatpusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak tertembus genre dan berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung oleh larangan-larangan tradisional dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisionalisme semacam itu, setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah warisan kesarjanaan Belanda yang cenderung melihat seni pertunjukan Indonesia dengan mengasumsikan kepastian dan ketaatan penuh pada aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan kemerosotan. Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial bumiputra, yang pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian warisan yang terus memunculkan kecemsejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Semua artikel yang dimuat berkeyakinan bahwa abad lalu adalah periode perubahan besar bagi seni pertunjukan modern maupun tradisional, yang turut mencuat bersama kemajuan dalam komunikasi dan transportasi dan keterbukaan Indonesia bagi kapitalisme multinasional.
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering dianggap statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah atau pusatpusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak tertembus genre dan berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung oleh larangan-larangan tradisional dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisionalisme semacam itu, setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah warisan kesarjanaan Belanda yang cenderung melihat seni pertunjukan Indonesia dengan mengasumsikan kepastian dan ketaatan penuh pada aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan kemerosotan. Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial bumiputra, yang pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian warisan yang terus memunculkan kecem
Maka wajar belaka bila para seniman modern seperti Raden Mas Jodjana (1895-1972) dianggap tidak autentik karena penafsiran kelewat “individualistis” mereka atas tradisi (Lelyveld 1931: 38) yang bakal mengkompromikan kemurnian. Selain itu, seni persilangan seperti keroncong atau ketoprak cuma sedikit diperhatikan. Baru belakangan saja para sarjana mulai menggali sejarah seniman keliling dan bentuk-bentuk seni keliling guna memaparkan dan menganalisis proses inovasi, hibridisasi dan penyuburan silang.
Edisi kali ini memandang tradisi seni pertunjukan Jawa dan Bali berada dalam perubahan ajek dan bergerak, dipengaruhi oleh pengadopsian dan pengalihan serta penafsiran ulang radikal yang dilakukan seniman dan intelektual, Indonesia maupun non-Indonesia. Para penulis edisi ini menawarkan wawasan tentang para seniman pertunjukan, agen, lembaga-lembaga yang berkepentingan, penulis, dan kelompok-kelompok seniman pertunjukan yang bertujuan melahirkan wawasan baru tentang bagaimana Jawa dan Bali dipahami di Indonesia maupun luar negeri. Tidak menampilkan pengertian-pengertian yang diterima dari masa lalu, edisi ini menyatakan bahwa seni pertunjukan Indonesia di berbagai daerah adalah sebuah proses yang terletak di antara lokal, supralokal dan global – yang harus dinegosiasikan di kalangan seniman, agenagen budaya, krisiti, penonton, dan para peserta lain di arena budaya. Model kesarjanaan dan pendekatan terhadap seni pertunjukan Indonesia
Pendekatan dominan terhadap studi budaya ekspresif Indonesia, hingga barubaru ini, adalah antropologi simbolis dari mendiang Clifford Geertz. Kelemahan model ini sudah banyak dimaklumi, tetapi kedudukan terhormat Geertz sebagai intelektual publik dan peredaran luas tulisan-tulisannya dalam ilmu sosial dan humaniora telah berhasil menjalankan fungsi sebagai modal akademis yang mengesahkan banyak sekali studi tentang budaya ekspresif Indonesia. Menurut para pengikut Geertz, seni pertunjukan dan bentuk-bentuk lain pergelaran budaya (termasuk sabung ayam Bali yang terkenal itu) harus dilihat sebagai jendela-jendela istimewa untuk memahami pandangan dunia dan etos kelompokkelompok etnis tertentu dengan nilai dan pemahaman, kebiasaan dan norma tersendiri. Antroplog-pengamat didorong untuk “membaca [teks pertunjukan] menurut mereka yang berada di tempat semestinya” (Geertz 1973: 452).
Pendekatan ini menekankan batas antara pengamat dan objek pengamatan dan menyebabkan diterimanya klaim-klaim pemilikan nasionalis Indonesia atas budaya Indonesia, menganggap beberapa varian pertunjukan sebagai “kebisingan” tidak penting dalam sebuah teks esensial yang bisa “dibaca” dalam semua pertunjukan oleh pengamat di tempatnya sendiri. Pendekatan kedua terhadap seni pertunjukan Indonesia, yang diterima luas, didasarkan pada ideal bi-musikalitas etnomusikolog Mantle Hood. Di bawah bimbingan Jaap Kunst di Amsterdam, komponis Mantle Hood didorong untuk belajar memainkan musik gamelan klasik guna memahami produksi musik dari sudut pandang orang dalam. Dalam sebuah esai klasik, Hood menyamakan proses belajar memahami dan memproduksi sebuah musik baru dengan mempelajari sebuah bahasa baru, tujuannya adalah penguasaan bi-musikalitas seperti dalam bilingualisme (Hood 1960). Pemahaman orang dalam tentang penampilan musikal memungkinkan diperolehnya paparan lebih akurat tentang proses musikal, prinsip-prinsip improvisasi dan permainan kelompok, juga menyediakan penghargaan baru bagi keterampilan teknis dan kepiawaian artistik para seniman empu.
Bagaimanapun juga, metafora bi-musikal itu banyak dijadikan topik diskusi dan sasaran kritik. Hood dan murid-muridnya percaya bahwa musik asing harus diajarkan lewat “kelompok studi pertunjukan” yang bertujuan meniru apa adanya repertoar tradisional ensambel musik dunia; tetapi para etnomusikolog yang lebih belakangan mendorong improvisasi dan kreasi musik baru bagi ensambel tradisional.
Sebuah perspektif yang terkait dengan itu adalah model kajian teater Asia yang berhubungan sangat erat dengan program teater Asia di Universitas Hawaii. Pendekatan ini bertujuan melegitimasi pengkajian “berbagai bentuk teater Asia dengan pendekatan pada tataran yang sama dengan teater di Barat” (Brandon 1989: 26). Para penganut pendekatan ini juga didorong mengikuti pengajaran langsung dalam teater tradisional, selain itu Hawaii serta lembagalembaga lain yang menganut pendekatan itu secara teratur mendatangkan “seniman-seniman guru” untuk melatih siswa seniman panggung. Mode kajian khas Hawaii adalah kajian genre di mana sebuah bentuk teater tradisional dipelajari sebagai sebuah sistem produksi dengan perhatian pada repertoar pementasan; pembagian peran panggung; dan suara, musik, gerak, busana, dan tata panggung. Umumnya perhatian juga diberikan pada kritik, keberterimaan dan peran penonton, serta biografi para seniman pertunjukan terkemuka. Model ini sangat penting dalam upaya mencari dan memaparkan genre pertunjukan yang dicermati yang tanpa itu hanya sedikit jejak fisik yang tersisa. Tetapi model ini tidak terjamah kritik sistematis, walaupun beberapa kalangan melihat kecenderungan para pendukungnya mengidealkan genre sebagai mode produksi. Pendekatan terhadap seni pertunjukan ini terutama penting di Indonesia berkat penerapannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Ketiga pendekatandi atas lebih menekankan analisis sinkronis ketimbang analisis diakronis, dan cenderung mengidealkan seni-seni pertunjukan tertentu sebagai lebih “autentik” bagi tradisi ketimbang seni-seni lainnya.
Ada beberapa pendekatan dan model lain yang lebih dinamis. Sebuah pendekatan lebih mutakhir pada seni pertunjukan Indonesia lahir dari disiplin akademis – ada yang menyebut anti-disiplin – kajian seni pertunjukan dan bidang-bidang yang secara longgar dikaitkan dengan antropologi teater yang didirikan Eugenio Barba, yang memusatkan perhatian pada eksplorasi pertunjukan antarbudaya lewat praktek. Berbagai pengkajian seni pertunjukan berkembang pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di ceruk antara teater dan antropologi. Sejumlah teoretisi awal kajian seni pertunjukan, termasuk Richard Schechner, Phillip Zarrilli, dan John Emigh, pada mulanya bertolak ke Asia untuk mempelajari seni pertunjukan Asia demi memperkaya teknik-teknik kreasi teater mereka, dan kemudian menyadari bahwa seni pertunjukan Asia in situ punya daya tarik inheren sendiri dan segi-segi menarik yang layak dieksplorasi. Kajiankajian seni pertunjukan berguna bagi de-eksotisasi seni pertunjukan Indonesia dengan menunjukkan kesamaan dengan praktek-praktel kultural dari balahan lain dunia. Ia merayakan keanekaragaman dan varietas seni pertunjukan, menghargai gaya kultural maupun individual; dan melalui hubungannya dengan antropologi teater ia merangsang eksplorasi berbasis praktek idiom-idiom teatrikal Indonesia. Namun, kajian seni pertunjukan sejak 1990-an tidak begitu memperhatikan seni pertunjukan Indonesia (dan non-Euro-Amerika lainnya), melepaskan diri makin jauh dari ranah antropologi dan dari ketidakpastian teoretis antropologi teater, dan bertemu dengan berbagai kajian aneh dalam reformulasi performatifnya.
Tentu bukan hanya model pengkajian seni pertunjukan dari Schechner dan Emigh yang diharapkan untuk mengkaji seni pertunjukan Indonesia. Karya pionir A. L. Becker (1979) tentang wayang kulit Jawa mengilhami sekelompok kecil sarjana namun berpengaruh untuk meninjau tradisi seni verbal Indonesia sebagai filologi lisan, yang dengan itu anasir masa lampau digali dan disuarakan untuk masa kini. Dengan demikian para seniman desa dipandang sebagai penafsir yang berupaya mengurai kerancuan dan ambiguitas masyarakat kontemporer dengan strategi-strategi artistik warisan leluhur yang terbukti ampuh. Sehingga penafisran bukan melulu hak istimewa sarjana-pengamat, melainkan juga milik seniman-pelaku.
Pada tahun-tahun belakangan terdapat kekecewaan mendalam karena tidak adanya pergumulan konsisten dengan epistemologi tubuh, di kalangan mereka yang menggeluti kajian seni pertunjukan Indonesia – dan lebih khusus lagi kreasi pertunjukan tari – dan nihilnya kesarjanaan yang berpijak pada fisikalitas tubuh, yang mampu memahami tubuh menari sebagai produsen budaya-politik. Pengkajian tari adalah bidang disiplin yang bermula pada tahun 1990-an dari artikulasi Susan Leigh Foster tentang pengertian ketubuhan dan perwujudan pengetahuan serta hubungannya dengan tindakan menulis. Foster memperkenalkan kesarjanaan yang memandang kreasi tari sebagai “sebuah bentuk teorisasi, yang menjiwai dan dijiwai oleh proses penjabaran signifikansi tubuh” (Leigh Foster 1995: 16). Hanya soal waktu sebelum pendekatanpendekatan demikian diminati dan digarap ulang untuk meneliti kreasi seni pertunjuan Indonesia. Historisitas ditimbang ulang Tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi ini memang tidak homogen tetapi semuanya menganut, dalam kadar sedikit atau banyak, sebuah pandangan tentang seni pertunjukan sebagai lahan di mana ambiguitas marak dan makna serta signifikansi selalu terbuka untuk digugat.
Matthew Isaac Cohen berpendapat bahwa paruh pertama abad ke-20 menandai titik puncak pemanfaatan citra Jawa dan Bali oleh kalangan Orientalis di pentas internasional. Pementasan Jawa berbeda dari pemanfaatan pra-abad ke-20 itu di mana karakter Jawa diwujudkan dan dihayati di panggung maupun di luar panggung. Orang Indonesia, Eurasia, Eropa, dan Asia non-Indonesia (termasuk seniman Jepang dan India) terlibat dalam kegiatan ini. Era ini berakhir dengan kemerdekaan Indonesia, ketika negara Indonesia memperoleh hak eksklusif untuk memantau penampilan konstituen-konstituen etnisnya di luar negeri melalui misi dan diplomasi kebudayaan. Neil Sorrell mempertanyakan pemanfaatan, oleh para komponis Euro Amerika, model-model Jawa ketika menciptakan karya untuk gamelan, karena hal itu sering menimbulkan kesalahpahaman serius menyangkut konsep-konsep musikal yang berbeda secara fundamental, misalnya intonasi. Lebih baik membiarkan aksen lokal muncul tanpa berusaha “meniru identitas dari tempat lain,” dan dia memelopori proses pelokalan ini dengan mendiskusikan Misa Gongso, yang dia gubah untuk khalayak York berdasarkan Gamelan Sekar dan mempergelarkannya di Katedral York pada tahun 2005.
Alessandra Lopez y Royo berfokus pada dua balet, The Prince of Pagodas yang diciptakan Cranko pada 1957 dan dipentaskan ulang oleh MacMillan pada 1989 serta Gong karya Morris yang dipentaskan pertama kali tahun 2002. Melalui sebuah diskusi tentang karya-karya tari itu berikut musiknya, masing-masing oleh Benjamin Britten dan Colin McPhee, Royo meninjau ulang makna-makna yang saling bertentangan dari pengaruh dan pemanfaatan kultural, serta makna transformasi dan terjemahan. Dengan tinjauan itu Royo memunculkan tarik ulur identitas seksual lewat penggunaan gamelan sebagai indikator gay di kalangan komponis Amerika Utara abad ke-20, dalam deretan yang dimulai dari McPhee hingga Lou Harrison serta para penggubah terkemudian, dan di dalamnya nampaknya terdapat komponis Inggris Britten mengingat kedekatan hubungannya dengan McPhee.
Michael Bodden menerapkan sebuah perspektif sosiologis untuk mengkaji sejarah pasca-kolonial teater seni nasional Indonesia. Dia menganalisis
pemanfaatan modern tradisi sebagai “sumber daya langka” (cf. Appadurai 1981) yang dinegosiasikan dalam berbagai pertentangan antara para birokrat kebudayaan dan pejabat pemerintah berlatar belakang aristokrat dengan seniman-seniman berkecenderungan populis. Sementara agen-agen negara memperlakukan tradisi sebagai sesuatu yang statis dan tertata, para seniman merayakan kualitas tak terbelenggu dan multivokal seni rakyat. Barbara Hatley menawarkan studi kasus grup teater Indonesia kontemporer, Teater Garasi, yang secara eksplisit menggeluti isu-isu identitas yang bertentangan – apa artinya menjadi benar-benar Jawa pada suatu waktu ketika pengertian “kejawaan” digugat. Mark Hobart mengangkat serangkaian pertanyaan penting berkenaan dengan bagaimana pertunjukan tari Bali sejauh ini disalahpahami, sebagai sebuah entitas yang sepenuhnya ahistoris, terserap dalam masa lalu prakolonial imajiner. Mengapa kita tidak mencoba mengkontekstualkan dan menghistoriskan itu dengan meletakkannya bersama seni pertunjukan India, Cina dan Jepang, menggeluti studi kritis seni pertunjukan lintas budaya, modernitas dan pascakolonialitas?
Ulasan-ulasan lugasnya tentang bagaimana warisan seni pertunjukan Bali dikonstruksi oleh orang luar dengan bantuan orang-orang Bali sendiri tidak cuma relevan bagi Bali melainkan juga bagi seni pertunjukan Asia seumumnya, menunjukkan perlunya menyegarkan penelitian pada abad ke-21. Margaret Coldiron membahas sebuah pertunjukan mutakhir di mana anasir teatrikal Indonesia dan Yunani klasik dipadu dan dijajarkan. Dia menyajikan kasus bagi model yang lebih dinamis produksi teatrikal lintas budaya di mana budaya-budaya sumber dan sasaran berdampingan dalam keseimbangan dinamis.
Laura Noszlopy mengeksplorasi perubahan-perubahan dalam cara memandang agensi seniman pertunjukan Bali, ketika bidang kerja mereka menjadi lebih profesional. Dia berpendapat bahwa sekalipun ada sejarah impresario dalam bisnis seni pertunjukan Bali, “kerja lepas” merupakan modus
operandi baru bagi banyak seniman kontemporer.
Artikel-artikel dalam edisi ini pada mulanya disajikan sebagai makalah dalam konferensi-konferensi di London dan Exeter pada April 2005. Salah satunya adalah diskusi panel tentang pertunjukan tari dan musik Indonesia dalam konteks transnasional yang diselenggarakan oleh Alessandra Lopez y Royo dan Matthew Cohen di British Forum for Ethnomusicology dan konferensi AHRB Research Centre for Cross-Cultural Music and Dance Performance bertema “Pertunjukan Musik dan tari: Pendekatan Lintas Budaya”. Yang lainnya adalah diskusi panel tentang seni pertunjukan Asia Tenggara berbasis tradisi yang diselenggarakan oleh Matthew Cohen dan Laura Noszlopy dalam konferensi ASEASUK ke-22. Banyak peserta dan sebagian besar pemikiran di balik panel-panel itu saling bersinggungan, membangkitkan dialog dan diskusi.
Konferensi yang berlangsung di Inggris itu mengarahkan berbagai presentasi ke Jawa dan Bali, walaupun ada pula kontribusi penting tentang karya pertunjukan di Hawaii dan Australia dari teater rakyat randai Sumetara Barat yang disampaikan oleh Kirstin Pauka dan Indija Mahjoeddin. Minat yang nampak jelas selalu lebih tertuju pada Jawa dan Bali ketimbang wilayah-wilayah lain nusantara yang terpancar dari artikel-artikel dalam jurnal edisi ini perlu dikomentari. Alasannya untuk sebagian adalah kebetulan semata, sebab tidak semua yang hadir bisa urun rembug. Kalau saja mereka bisa, tentu itu bakal menyajikan ragam lebih banyak dan pendekatan lebih berimbang. Tetapi memang ada ketimpangan historis yang tak terbantahkan, mengakar dalam fakta bahwa kesarjanaan tentang Jawa dan Bali secara tradisional jauh lebih mapan di berbagai universitas, bisa dikatakan terikat erat dengan kepentingan-kepentingan kolonial dan neo-kolonial, ketika fakultas atau jurusan yang relevan didirikan. Bertolak dari kenyataan ini, kelompokkelompok pengkajian seni pertunjukan universitas dan percabangan mereka ke proyek-proyek seni komunitas terkait seperti pementasan gamelan dan ensamble tari Indonesia di Barat memastikan lebih mudah diaksesnya genre-genre Jawa dan Bali, dan dengan demikian mendatangkan pendanaan lebih besar sehubungan dengan beasiswa, pertukaran dan lembaga-lembaga penyokong. Seni pertunjukan Jawa dan Bali, berkat keunggulan historis keduanya, juga lebih mudah dipasarkan bagi pengajaran mahasiswa tingkat sarjana dan lokakarya publik.
Menyangkut artikel-artikel di sini, banyak yang mengangkat persoalan etika. Siapa yang berhak mengklaim mewakili tradisi Jawa atau Bali? Apakah salah menafsirkan tarian atau musik atau mitos sebuah kelompok di luar kelompok Anda sendiri? Apa salah memasukkan makna baru dalam materi yang dipungut? Apakah seni pertunjukan Indonesia mesti didasarkan pada tata laksana sponsor tradisional, atau apakah perubahan sosial membuka kemungkinan-kemungkinan baru?
Salah satu isu yang tidak secara khusus diangkat dalam tulisan-tulisan edisi ini, padahal sangat penting dan menggelisahkan, adalah eksploitasi ekonomi terhadap seniman-seniman pertunjukan Indonesia dan Asia lainnya yang diundang untuk ambil bagian dalam pergelaran berskala besar di Eropa dan Amerika. Ditampilkan sebagai upaya menjadi beragam, global dan transnasional, produksi-produksi artistik semacam itu – sering menafsirkan ulang karya-karya klasik berumur panjang dan sangat disukai dalam pakem opera dan drama Eropa – bertumpu pada keterampilan dan kemahiran penari dan musisi pendukung Indonesia bagi kesuksesan mereka di hadapan audiens jemu, terutama kelas menengah, yang tak henti-henti haus akan kebaruan.  Pertunjukan mengesankan semacam itu, sering kali berlangsung tak lebih dari beberapa hari, menutupi realitas pahit buruh murah, dengan per diem yang dikatakan sebagai upah penuh dan akomodasi mengenaskan para artis. Perlakuan terhadap mereka yang datang dari luar bertolak belakang tajam dengan yang diberikan kepada seniman setempat yang dinaungi serikat buruh. Lepas dari kegusaran yang barangkali dirasakan orang saat menyadari bahwa skenario ini terjadi di Eropa atau Amerika abad ke-21, dan bukan di masalampau Dickensian, orang perlu tahu lebih gamblang kaitan antara pertunjukan, politik dan ekonomi.
Seni pertunjukan adalah salah satu industri budaya zaman kita dan dalam menelaah isu-isu transnasionalisme tentu kita tidak bisa berkutat semata-mata, dalam gaya modernis, pada isu-isu tentang muatan estetis, tercerabut dari politik keseharian. Watak sepenuhnya historis semua kajian dalam edisi ini memperlihatkan bahwa sebuah sejarah komprehensif seni pertunjukan Indonesia sangat dibutuhkan. Ada jalinan rumit, namun tidak terartikulasikan, antara pengembaraan tari di Eropa yang dilakukan penari Jawa Raden Mas Jodjana dan penari Bali Ni Made Pujawati. Kamampuan Kadek Suardana mencukupi hidup sebagai freelancer ada hubungannya dengan jaringan pertunjukan transnasional mutakhir maupun wisata budaya era kolonial di Bali dan representasi Bali pra-kemerdekaan di pentas dan layar internasional. Edisi ini
menekankan bahwa setiap sejarah penting seni pertunjukan Indonesia harus memperhitungkan pula sumbangan yang diberikan semua orang Indonesia (termasuk Cina dan Eurasia) maupun Eropa, Inida, Arab, dan lain-lain. Batasbatas Indonesia sebagai sebuah entitas geopolitik terbentuk sebagai buah dari politik kolonial, tapi lapangan kebudayaannya selalu agak lebih luas (dan juga agak lebih kecil) ketimbang batas-batas itu. Daya tarik seni pertunjukan terletak dalam kemampuannya mengundang pemikiran, membangkitkan diskusi, dan memfasilitasi relasi sosial. Penyajian esai-esai pada konferensi itu dan pengerjaan ulangnya menjadi artikel mewujudkan semua itu, dan diharapkan penerbitan ini akan memungkinkan esaiesai itu berfungsi demikian.



  • Matthew Isaac Cohen, dalang wayang, pakar seni pertunjukan Asia, pengajar di Royal Holloway Universitas London.
  • Alessandra Lopez Y. Royo, pakar seni pertunjukan dan sejarah budaya Asia Selatan dan Tenggara, pengajar Universitas Roehampton London.
  • Laura Noszlopy, peneliti seni pertunjukan transnasional Indonesia, pengajar di Royal Holloway Universitas London.
  • Noor Cholis, penerjemah lepas. Bisa dihubungi di 0856-289-6924 dan di kompor_jaya@yahoo.com

Rujukan

  1. Appadurai, Arjun (1981). The past as a scarce source. Man 16: 2, h. 201- 219 – (New Series) [rujukan silang]
  2. Becker, A. L. (Becker, A. L. dan Yengoyan, A. A. editor) Text-building, epistemology, and aesthetics in Javanese shadow theatre. The Imagination of reality: Essays in Southeast Asia coherence systems h. 211-244. Ablex Publishing Corporation, Norwood, NJ.
  3. Brandon, James R. (1989) A new world: Asian Theatre in the West Today. TDR 33: 2, h. 25-50. [rujukan silang]
  4. Geertz, Clifford (1973) The interpretation of cultures, Basic Book, NewYork
  5. Hood, mantle (1960) The challenge of ‘bi-musicality’. Ethnomusicology 4: 2, h. 55-59. [rujukan silang]
  6. Foster, S. Leigh (Foster, S. Leigh, ed.) (1995) Choreographing history. Choreographing history, h. 3-21. Indiana University Press, Bloomington.
  7. van Lelyveld, Th. B. De Javaansche danskunst Van Holkema & Warendorf, Amsterdam

0 komentar: