Karya Cipta Lagu Daerah Jawa Timur 2013



Setelah melalui proses seleksi naskah dan partitur dari team musik dan seni pertunjukan kami akhirnya kami pun lolos melenggang ke tingkat regional. beberapa persiapan dan latihan kami laksanakan selama 2 minggu karena waktu yang diberikan kepada kami begitu minim ... huffttt, tapi apa boleh buat :D
tema " Sate" menjadi inspirasi kami dalam membuat karya lagu ini, salah satu brand kuliner madura yang sudah dikenal hingga manca negara. pemilihan notasi pun hingga alat musik yang digunakan menjadi pertimbangan kami karena ini pengalaman kami yang pertama di festival karya lagu daerah. tidak hanya itu team penari sudah siap dengan choreography nya dengan gaya bebas tapi kental dengan idium gerak tari madura diselingi teaterikal tematik.
properti yang kami gunakan ogohan lapak sate yang dipikul and yang lebih heboh lagi kami berhasil merayu salah satu Kasi SDM kebudayaan menjadi figuran penjual satenya hahahhahahaahah ..... :D. ok kita liat beberapa snapshoot hasil karya kami yang di pentaskan di Taman Krida Malang jalan Soekarno Hatta jawa timur >>>>

0 komentar:

Seni Pertunjukan Indonesia Melintas Batas



Seni Pertunjukan Indonesia Melintas Batas
Matthew Isaac Cohen; Alessandra Lopez Y. Royo; Laura Noszlopy
Terjemahan: Noor Cholis
Dimuat di: Indonesia And Malay World, Volume 35, Issue 101 Maret 2007, h. 1 – 7.


Edisi kali ini menyajikan semacam rangkaian tulisan historis tentang teater, tari, dan musik dari Indonesia, sejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Semua artikel yang dimuat berkeyakinan bahwa abad lalu adalah periode perubahan besar bagi seni pertunjukan modern maupun tradisional, yang turut mencuat bersama kemajuan dalam komunikasi dan transportasi dan keterbukaan Indonesia bagi kapitalisme multinasional.
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering dianggap statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah atau pusatpusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak tertembus genre dan berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung oleh larangan-larangan tradisional dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisionalisme semacam itu, setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah warisan kesarjanaan Belanda yang cenderung melihat seni pertunjukan Indonesia dengan mengasumsikan kepastian dan ketaatan penuh pada aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan kemerosotan. Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial bumiputra, yang pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian warisan yang terus memunculkan kecemsejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Semua artikel yang dimuat berkeyakinan bahwa abad lalu adalah periode perubahan besar bagi seni pertunjukan modern maupun tradisional, yang turut mencuat bersama kemajuan dalam komunikasi dan transportasi dan keterbukaan Indonesia bagi kapitalisme multinasional.
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering dianggap statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah atau pusatpusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak tertembus genre dan berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung oleh larangan-larangan tradisional dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisionalisme semacam itu, setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah warisan kesarjanaan Belanda yang cenderung melihat seni pertunjukan Indonesia dengan mengasumsikan kepastian dan ketaatan penuh pada aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan kemerosotan. Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial bumiputra, yang pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian warisan yang terus memunculkan kecem
Maka wajar belaka bila para seniman modern seperti Raden Mas Jodjana (1895-1972) dianggap tidak autentik karena penafsiran kelewat “individualistis” mereka atas tradisi (Lelyveld 1931: 38) yang bakal mengkompromikan kemurnian. Selain itu, seni persilangan seperti keroncong atau ketoprak cuma sedikit diperhatikan. Baru belakangan saja para sarjana mulai menggali sejarah seniman keliling dan bentuk-bentuk seni keliling guna memaparkan dan menganalisis proses inovasi, hibridisasi dan penyuburan silang.
Edisi kali ini memandang tradisi seni pertunjukan Jawa dan Bali berada dalam perubahan ajek dan bergerak, dipengaruhi oleh pengadopsian dan pengalihan serta penafsiran ulang radikal yang dilakukan seniman dan intelektual, Indonesia maupun non-Indonesia. Para penulis edisi ini menawarkan wawasan tentang para seniman pertunjukan, agen, lembaga-lembaga yang berkepentingan, penulis, dan kelompok-kelompok seniman pertunjukan yang bertujuan melahirkan wawasan baru tentang bagaimana Jawa dan Bali dipahami di Indonesia maupun luar negeri. Tidak menampilkan pengertian-pengertian yang diterima dari masa lalu, edisi ini menyatakan bahwa seni pertunjukan Indonesia di berbagai daerah adalah sebuah proses yang terletak di antara lokal, supralokal dan global – yang harus dinegosiasikan di kalangan seniman, agenagen budaya, krisiti, penonton, dan para peserta lain di arena budaya. Model kesarjanaan dan pendekatan terhadap seni pertunjukan Indonesia
Pendekatan dominan terhadap studi budaya ekspresif Indonesia, hingga barubaru ini, adalah antropologi simbolis dari mendiang Clifford Geertz. Kelemahan model ini sudah banyak dimaklumi, tetapi kedudukan terhormat Geertz sebagai intelektual publik dan peredaran luas tulisan-tulisannya dalam ilmu sosial dan humaniora telah berhasil menjalankan fungsi sebagai modal akademis yang mengesahkan banyak sekali studi tentang budaya ekspresif Indonesia. Menurut para pengikut Geertz, seni pertunjukan dan bentuk-bentuk lain pergelaran budaya (termasuk sabung ayam Bali yang terkenal itu) harus dilihat sebagai jendela-jendela istimewa untuk memahami pandangan dunia dan etos kelompokkelompok etnis tertentu dengan nilai dan pemahaman, kebiasaan dan norma tersendiri. Antroplog-pengamat didorong untuk “membaca [teks pertunjukan] menurut mereka yang berada di tempat semestinya” (Geertz 1973: 452).
Pendekatan ini menekankan batas antara pengamat dan objek pengamatan dan menyebabkan diterimanya klaim-klaim pemilikan nasionalis Indonesia atas budaya Indonesia, menganggap beberapa varian pertunjukan sebagai “kebisingan” tidak penting dalam sebuah teks esensial yang bisa “dibaca” dalam semua pertunjukan oleh pengamat di tempatnya sendiri. Pendekatan kedua terhadap seni pertunjukan Indonesia, yang diterima luas, didasarkan pada ideal bi-musikalitas etnomusikolog Mantle Hood. Di bawah bimbingan Jaap Kunst di Amsterdam, komponis Mantle Hood didorong untuk belajar memainkan musik gamelan klasik guna memahami produksi musik dari sudut pandang orang dalam. Dalam sebuah esai klasik, Hood menyamakan proses belajar memahami dan memproduksi sebuah musik baru dengan mempelajari sebuah bahasa baru, tujuannya adalah penguasaan bi-musikalitas seperti dalam bilingualisme (Hood 1960). Pemahaman orang dalam tentang penampilan musikal memungkinkan diperolehnya paparan lebih akurat tentang proses musikal, prinsip-prinsip improvisasi dan permainan kelompok, juga menyediakan penghargaan baru bagi keterampilan teknis dan kepiawaian artistik para seniman empu.
Bagaimanapun juga, metafora bi-musikal itu banyak dijadikan topik diskusi dan sasaran kritik. Hood dan murid-muridnya percaya bahwa musik asing harus diajarkan lewat “kelompok studi pertunjukan” yang bertujuan meniru apa adanya repertoar tradisional ensambel musik dunia; tetapi para etnomusikolog yang lebih belakangan mendorong improvisasi dan kreasi musik baru bagi ensambel tradisional.
Sebuah perspektif yang terkait dengan itu adalah model kajian teater Asia yang berhubungan sangat erat dengan program teater Asia di Universitas Hawaii. Pendekatan ini bertujuan melegitimasi pengkajian “berbagai bentuk teater Asia dengan pendekatan pada tataran yang sama dengan teater di Barat” (Brandon 1989: 26). Para penganut pendekatan ini juga didorong mengikuti pengajaran langsung dalam teater tradisional, selain itu Hawaii serta lembagalembaga lain yang menganut pendekatan itu secara teratur mendatangkan “seniman-seniman guru” untuk melatih siswa seniman panggung. Mode kajian khas Hawaii adalah kajian genre di mana sebuah bentuk teater tradisional dipelajari sebagai sebuah sistem produksi dengan perhatian pada repertoar pementasan; pembagian peran panggung; dan suara, musik, gerak, busana, dan tata panggung. Umumnya perhatian juga diberikan pada kritik, keberterimaan dan peran penonton, serta biografi para seniman pertunjukan terkemuka. Model ini sangat penting dalam upaya mencari dan memaparkan genre pertunjukan yang dicermati yang tanpa itu hanya sedikit jejak fisik yang tersisa. Tetapi model ini tidak terjamah kritik sistematis, walaupun beberapa kalangan melihat kecenderungan para pendukungnya mengidealkan genre sebagai mode produksi. Pendekatan terhadap seni pertunjukan ini terutama penting di Indonesia berkat penerapannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Ketiga pendekatandi atas lebih menekankan analisis sinkronis ketimbang analisis diakronis, dan cenderung mengidealkan seni-seni pertunjukan tertentu sebagai lebih “autentik” bagi tradisi ketimbang seni-seni lainnya.
Ada beberapa pendekatan dan model lain yang lebih dinamis. Sebuah pendekatan lebih mutakhir pada seni pertunjukan Indonesia lahir dari disiplin akademis – ada yang menyebut anti-disiplin – kajian seni pertunjukan dan bidang-bidang yang secara longgar dikaitkan dengan antropologi teater yang didirikan Eugenio Barba, yang memusatkan perhatian pada eksplorasi pertunjukan antarbudaya lewat praktek. Berbagai pengkajian seni pertunjukan berkembang pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di ceruk antara teater dan antropologi. Sejumlah teoretisi awal kajian seni pertunjukan, termasuk Richard Schechner, Phillip Zarrilli, dan John Emigh, pada mulanya bertolak ke Asia untuk mempelajari seni pertunjukan Asia demi memperkaya teknik-teknik kreasi teater mereka, dan kemudian menyadari bahwa seni pertunjukan Asia in situ punya daya tarik inheren sendiri dan segi-segi menarik yang layak dieksplorasi. Kajiankajian seni pertunjukan berguna bagi de-eksotisasi seni pertunjukan Indonesia dengan menunjukkan kesamaan dengan praktek-praktel kultural dari balahan lain dunia. Ia merayakan keanekaragaman dan varietas seni pertunjukan, menghargai gaya kultural maupun individual; dan melalui hubungannya dengan antropologi teater ia merangsang eksplorasi berbasis praktek idiom-idiom teatrikal Indonesia. Namun, kajian seni pertunjukan sejak 1990-an tidak begitu memperhatikan seni pertunjukan Indonesia (dan non-Euro-Amerika lainnya), melepaskan diri makin jauh dari ranah antropologi dan dari ketidakpastian teoretis antropologi teater, dan bertemu dengan berbagai kajian aneh dalam reformulasi performatifnya.
Tentu bukan hanya model pengkajian seni pertunjukan dari Schechner dan Emigh yang diharapkan untuk mengkaji seni pertunjukan Indonesia. Karya pionir A. L. Becker (1979) tentang wayang kulit Jawa mengilhami sekelompok kecil sarjana namun berpengaruh untuk meninjau tradisi seni verbal Indonesia sebagai filologi lisan, yang dengan itu anasir masa lampau digali dan disuarakan untuk masa kini. Dengan demikian para seniman desa dipandang sebagai penafsir yang berupaya mengurai kerancuan dan ambiguitas masyarakat kontemporer dengan strategi-strategi artistik warisan leluhur yang terbukti ampuh. Sehingga penafisran bukan melulu hak istimewa sarjana-pengamat, melainkan juga milik seniman-pelaku.
Pada tahun-tahun belakangan terdapat kekecewaan mendalam karena tidak adanya pergumulan konsisten dengan epistemologi tubuh, di kalangan mereka yang menggeluti kajian seni pertunjukan Indonesia – dan lebih khusus lagi kreasi pertunjukan tari – dan nihilnya kesarjanaan yang berpijak pada fisikalitas tubuh, yang mampu memahami tubuh menari sebagai produsen budaya-politik. Pengkajian tari adalah bidang disiplin yang bermula pada tahun 1990-an dari artikulasi Susan Leigh Foster tentang pengertian ketubuhan dan perwujudan pengetahuan serta hubungannya dengan tindakan menulis. Foster memperkenalkan kesarjanaan yang memandang kreasi tari sebagai “sebuah bentuk teorisasi, yang menjiwai dan dijiwai oleh proses penjabaran signifikansi tubuh” (Leigh Foster 1995: 16). Hanya soal waktu sebelum pendekatanpendekatan demikian diminati dan digarap ulang untuk meneliti kreasi seni pertunjuan Indonesia. Historisitas ditimbang ulang Tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi ini memang tidak homogen tetapi semuanya menganut, dalam kadar sedikit atau banyak, sebuah pandangan tentang seni pertunjukan sebagai lahan di mana ambiguitas marak dan makna serta signifikansi selalu terbuka untuk digugat.
Matthew Isaac Cohen berpendapat bahwa paruh pertama abad ke-20 menandai titik puncak pemanfaatan citra Jawa dan Bali oleh kalangan Orientalis di pentas internasional. Pementasan Jawa berbeda dari pemanfaatan pra-abad ke-20 itu di mana karakter Jawa diwujudkan dan dihayati di panggung maupun di luar panggung. Orang Indonesia, Eurasia, Eropa, dan Asia non-Indonesia (termasuk seniman Jepang dan India) terlibat dalam kegiatan ini. Era ini berakhir dengan kemerdekaan Indonesia, ketika negara Indonesia memperoleh hak eksklusif untuk memantau penampilan konstituen-konstituen etnisnya di luar negeri melalui misi dan diplomasi kebudayaan. Neil Sorrell mempertanyakan pemanfaatan, oleh para komponis Euro Amerika, model-model Jawa ketika menciptakan karya untuk gamelan, karena hal itu sering menimbulkan kesalahpahaman serius menyangkut konsep-konsep musikal yang berbeda secara fundamental, misalnya intonasi. Lebih baik membiarkan aksen lokal muncul tanpa berusaha “meniru identitas dari tempat lain,” dan dia memelopori proses pelokalan ini dengan mendiskusikan Misa Gongso, yang dia gubah untuk khalayak York berdasarkan Gamelan Sekar dan mempergelarkannya di Katedral York pada tahun 2005.
Alessandra Lopez y Royo berfokus pada dua balet, The Prince of Pagodas yang diciptakan Cranko pada 1957 dan dipentaskan ulang oleh MacMillan pada 1989 serta Gong karya Morris yang dipentaskan pertama kali tahun 2002. Melalui sebuah diskusi tentang karya-karya tari itu berikut musiknya, masing-masing oleh Benjamin Britten dan Colin McPhee, Royo meninjau ulang makna-makna yang saling bertentangan dari pengaruh dan pemanfaatan kultural, serta makna transformasi dan terjemahan. Dengan tinjauan itu Royo memunculkan tarik ulur identitas seksual lewat penggunaan gamelan sebagai indikator gay di kalangan komponis Amerika Utara abad ke-20, dalam deretan yang dimulai dari McPhee hingga Lou Harrison serta para penggubah terkemudian, dan di dalamnya nampaknya terdapat komponis Inggris Britten mengingat kedekatan hubungannya dengan McPhee.
Michael Bodden menerapkan sebuah perspektif sosiologis untuk mengkaji sejarah pasca-kolonial teater seni nasional Indonesia. Dia menganalisis
pemanfaatan modern tradisi sebagai “sumber daya langka” (cf. Appadurai 1981) yang dinegosiasikan dalam berbagai pertentangan antara para birokrat kebudayaan dan pejabat pemerintah berlatar belakang aristokrat dengan seniman-seniman berkecenderungan populis. Sementara agen-agen negara memperlakukan tradisi sebagai sesuatu yang statis dan tertata, para seniman merayakan kualitas tak terbelenggu dan multivokal seni rakyat. Barbara Hatley menawarkan studi kasus grup teater Indonesia kontemporer, Teater Garasi, yang secara eksplisit menggeluti isu-isu identitas yang bertentangan – apa artinya menjadi benar-benar Jawa pada suatu waktu ketika pengertian “kejawaan” digugat. Mark Hobart mengangkat serangkaian pertanyaan penting berkenaan dengan bagaimana pertunjukan tari Bali sejauh ini disalahpahami, sebagai sebuah entitas yang sepenuhnya ahistoris, terserap dalam masa lalu prakolonial imajiner. Mengapa kita tidak mencoba mengkontekstualkan dan menghistoriskan itu dengan meletakkannya bersama seni pertunjukan India, Cina dan Jepang, menggeluti studi kritis seni pertunjukan lintas budaya, modernitas dan pascakolonialitas?
Ulasan-ulasan lugasnya tentang bagaimana warisan seni pertunjukan Bali dikonstruksi oleh orang luar dengan bantuan orang-orang Bali sendiri tidak cuma relevan bagi Bali melainkan juga bagi seni pertunjukan Asia seumumnya, menunjukkan perlunya menyegarkan penelitian pada abad ke-21. Margaret Coldiron membahas sebuah pertunjukan mutakhir di mana anasir teatrikal Indonesia dan Yunani klasik dipadu dan dijajarkan. Dia menyajikan kasus bagi model yang lebih dinamis produksi teatrikal lintas budaya di mana budaya-budaya sumber dan sasaran berdampingan dalam keseimbangan dinamis.
Laura Noszlopy mengeksplorasi perubahan-perubahan dalam cara memandang agensi seniman pertunjukan Bali, ketika bidang kerja mereka menjadi lebih profesional. Dia berpendapat bahwa sekalipun ada sejarah impresario dalam bisnis seni pertunjukan Bali, “kerja lepas” merupakan modus
operandi baru bagi banyak seniman kontemporer.
Artikel-artikel dalam edisi ini pada mulanya disajikan sebagai makalah dalam konferensi-konferensi di London dan Exeter pada April 2005. Salah satunya adalah diskusi panel tentang pertunjukan tari dan musik Indonesia dalam konteks transnasional yang diselenggarakan oleh Alessandra Lopez y Royo dan Matthew Cohen di British Forum for Ethnomusicology dan konferensi AHRB Research Centre for Cross-Cultural Music and Dance Performance bertema “Pertunjukan Musik dan tari: Pendekatan Lintas Budaya”. Yang lainnya adalah diskusi panel tentang seni pertunjukan Asia Tenggara berbasis tradisi yang diselenggarakan oleh Matthew Cohen dan Laura Noszlopy dalam konferensi ASEASUK ke-22. Banyak peserta dan sebagian besar pemikiran di balik panel-panel itu saling bersinggungan, membangkitkan dialog dan diskusi.
Konferensi yang berlangsung di Inggris itu mengarahkan berbagai presentasi ke Jawa dan Bali, walaupun ada pula kontribusi penting tentang karya pertunjukan di Hawaii dan Australia dari teater rakyat randai Sumetara Barat yang disampaikan oleh Kirstin Pauka dan Indija Mahjoeddin. Minat yang nampak jelas selalu lebih tertuju pada Jawa dan Bali ketimbang wilayah-wilayah lain nusantara yang terpancar dari artikel-artikel dalam jurnal edisi ini perlu dikomentari. Alasannya untuk sebagian adalah kebetulan semata, sebab tidak semua yang hadir bisa urun rembug. Kalau saja mereka bisa, tentu itu bakal menyajikan ragam lebih banyak dan pendekatan lebih berimbang. Tetapi memang ada ketimpangan historis yang tak terbantahkan, mengakar dalam fakta bahwa kesarjanaan tentang Jawa dan Bali secara tradisional jauh lebih mapan di berbagai universitas, bisa dikatakan terikat erat dengan kepentingan-kepentingan kolonial dan neo-kolonial, ketika fakultas atau jurusan yang relevan didirikan. Bertolak dari kenyataan ini, kelompokkelompok pengkajian seni pertunjukan universitas dan percabangan mereka ke proyek-proyek seni komunitas terkait seperti pementasan gamelan dan ensamble tari Indonesia di Barat memastikan lebih mudah diaksesnya genre-genre Jawa dan Bali, dan dengan demikian mendatangkan pendanaan lebih besar sehubungan dengan beasiswa, pertukaran dan lembaga-lembaga penyokong. Seni pertunjukan Jawa dan Bali, berkat keunggulan historis keduanya, juga lebih mudah dipasarkan bagi pengajaran mahasiswa tingkat sarjana dan lokakarya publik.
Menyangkut artikel-artikel di sini, banyak yang mengangkat persoalan etika. Siapa yang berhak mengklaim mewakili tradisi Jawa atau Bali? Apakah salah menafsirkan tarian atau musik atau mitos sebuah kelompok di luar kelompok Anda sendiri? Apa salah memasukkan makna baru dalam materi yang dipungut? Apakah seni pertunjukan Indonesia mesti didasarkan pada tata laksana sponsor tradisional, atau apakah perubahan sosial membuka kemungkinan-kemungkinan baru?
Salah satu isu yang tidak secara khusus diangkat dalam tulisan-tulisan edisi ini, padahal sangat penting dan menggelisahkan, adalah eksploitasi ekonomi terhadap seniman-seniman pertunjukan Indonesia dan Asia lainnya yang diundang untuk ambil bagian dalam pergelaran berskala besar di Eropa dan Amerika. Ditampilkan sebagai upaya menjadi beragam, global dan transnasional, produksi-produksi artistik semacam itu – sering menafsirkan ulang karya-karya klasik berumur panjang dan sangat disukai dalam pakem opera dan drama Eropa – bertumpu pada keterampilan dan kemahiran penari dan musisi pendukung Indonesia bagi kesuksesan mereka di hadapan audiens jemu, terutama kelas menengah, yang tak henti-henti haus akan kebaruan.  Pertunjukan mengesankan semacam itu, sering kali berlangsung tak lebih dari beberapa hari, menutupi realitas pahit buruh murah, dengan per diem yang dikatakan sebagai upah penuh dan akomodasi mengenaskan para artis. Perlakuan terhadap mereka yang datang dari luar bertolak belakang tajam dengan yang diberikan kepada seniman setempat yang dinaungi serikat buruh. Lepas dari kegusaran yang barangkali dirasakan orang saat menyadari bahwa skenario ini terjadi di Eropa atau Amerika abad ke-21, dan bukan di masalampau Dickensian, orang perlu tahu lebih gamblang kaitan antara pertunjukan, politik dan ekonomi.
Seni pertunjukan adalah salah satu industri budaya zaman kita dan dalam menelaah isu-isu transnasionalisme tentu kita tidak bisa berkutat semata-mata, dalam gaya modernis, pada isu-isu tentang muatan estetis, tercerabut dari politik keseharian. Watak sepenuhnya historis semua kajian dalam edisi ini memperlihatkan bahwa sebuah sejarah komprehensif seni pertunjukan Indonesia sangat dibutuhkan. Ada jalinan rumit, namun tidak terartikulasikan, antara pengembaraan tari di Eropa yang dilakukan penari Jawa Raden Mas Jodjana dan penari Bali Ni Made Pujawati. Kamampuan Kadek Suardana mencukupi hidup sebagai freelancer ada hubungannya dengan jaringan pertunjukan transnasional mutakhir maupun wisata budaya era kolonial di Bali dan representasi Bali pra-kemerdekaan di pentas dan layar internasional. Edisi ini
menekankan bahwa setiap sejarah penting seni pertunjukan Indonesia harus memperhitungkan pula sumbangan yang diberikan semua orang Indonesia (termasuk Cina dan Eurasia) maupun Eropa, Inida, Arab, dan lain-lain. Batasbatas Indonesia sebagai sebuah entitas geopolitik terbentuk sebagai buah dari politik kolonial, tapi lapangan kebudayaannya selalu agak lebih luas (dan juga agak lebih kecil) ketimbang batas-batas itu. Daya tarik seni pertunjukan terletak dalam kemampuannya mengundang pemikiran, membangkitkan diskusi, dan memfasilitasi relasi sosial. Penyajian esai-esai pada konferensi itu dan pengerjaan ulangnya menjadi artikel mewujudkan semua itu, dan diharapkan penerbitan ini akan memungkinkan esaiesai itu berfungsi demikian.



  • Matthew Isaac Cohen, dalang wayang, pakar seni pertunjukan Asia, pengajar di Royal Holloway Universitas London.
  • Alessandra Lopez Y. Royo, pakar seni pertunjukan dan sejarah budaya Asia Selatan dan Tenggara, pengajar Universitas Roehampton London.
  • Laura Noszlopy, peneliti seni pertunjukan transnasional Indonesia, pengajar di Royal Holloway Universitas London.
  • Noor Cholis, penerjemah lepas. Bisa dihubungi di 0856-289-6924 dan di kompor_jaya@yahoo.com

Rujukan

  1. Appadurai, Arjun (1981). The past as a scarce source. Man 16: 2, h. 201- 219 – (New Series) [rujukan silang]
  2. Becker, A. L. (Becker, A. L. dan Yengoyan, A. A. editor) Text-building, epistemology, and aesthetics in Javanese shadow theatre. The Imagination of reality: Essays in Southeast Asia coherence systems h. 211-244. Ablex Publishing Corporation, Norwood, NJ.
  3. Brandon, James R. (1989) A new world: Asian Theatre in the West Today. TDR 33: 2, h. 25-50. [rujukan silang]
  4. Geertz, Clifford (1973) The interpretation of cultures, Basic Book, NewYork
  5. Hood, mantle (1960) The challenge of ‘bi-musicality’. Ethnomusicology 4: 2, h. 55-59. [rujukan silang]
  6. Foster, S. Leigh (Foster, S. Leigh, ed.) (1995) Choreographing history. Choreographing history, h. 3-21. Indiana University Press, Bloomington.
  7. van Lelyveld, Th. B. De Javaansche danskunst Van Holkema & Warendorf, Amsterdam

0 komentar:

Seni Pertunjukan Topeng Gettak


Kegagahan Prabu Bolodewo tertuang dalam setiap gerakan yang ada pada tari topeng gettak. membuka lembaran lama ditahun 2007 kami mementaskan tari ini pada Festival Adhikara 2007 di sasana Krida malang. mulai persiapan hingga hari H kami lakukan dengan membawa 1 group pemain asli yang berada di kab. sampang.

tari Topeng Gettak yang secara otentik merupakan tari unggulan kabupaten Pamekasan dimana tari ini berawal pada jaman kepemerintahan Prabu Ario Menak Senoyo yang bertempat di Kecamatan Pademawu pamekasan. Tari yang melambangkan kegagahan baladewa ini kerap di mainkan oleh komunitas topeng pada setiap hajatan sebagai tari pembuka.
tari yang berdurasi antara 5 - 15 menit ini diiringan oleh seperangkat gamelan madura dengan menggunakan sronen type sandur. 
               















0 komentar:

Program teaching point art of dance

herf="http://pointartof.blogspot.com/2013/09/seniman-makhluk-sosial.html"

Teaching archievment by kikana rahman 
PENDIDIKAN SENI TARI POINT ART OF DANCE 
MENGACU PADA KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) KOMBINASI 

A. TINGKATAN (JENJANG) 
A.1. JENJANG PENGENALAN DASAR 
A.2. JENJANG DASAR I 
A.3. JENJANG DASAR II 
A.4. JENJANG DASAR LANJUTAN 
A.5. JENJANG DASAR TERAP 
A.6. JENJANG TERAMPIL 
A.7. JENJANG MAHIR 
A.8. JENJANG TARI JAWA TIMUR I, II 
A.9. JENJANG TARI JAWA TIMUR III, IV 
A.10. JENJANG SILANG GAYA SOLO, YOGJA 
A.11. JENJANG SILANG GAYA SUNDA, BETAWI 
A.12. JENJANG SILANG GAYA BALI 
A.13. JENJANG SILANG GAYA ANDALAS, BORNEO 
A.14. JENJANG ESTETISASI GERAK DAN TARI 
A.15. JENJANG ESTETISASI TABUH IRINGAN TARI 
A.16. JENJANG ESTETISASI GERAK DAN TARI KONTEMPORER I 
A.17. JENJANG ESTETISASI GERAK DAN TARI KONTEMPORER II 
A.18. JENJANG INSTRUKTUR TARI 
A.19. JENJANG DISKRIPSI - ANALISA GERAK DAN KARAKTER 
A.20. JENJANG PEMBAWAAN

M A T E R I 
A.1. JENJANG PENGENALAN DASAR 
1. Pengenalan lingkungan sanggar 
2. Pengenalan gerak dasar awal 
3. Pengenalan gerak ritmis – Tari Anak Dasar

A.2. JENJANG DASAR I 
1. Tehnik ukel 
2. Tehnik kepala 
3. Tehnik lengan 
4. tehnik kaki 
5. tehnik jari 
6. Tari Anak I

A.3. JENJANG DASAR II 
1. tehnik mendak 
2. tehnik ogek lambung 
3. tehnik proporsional anatomi tari 
4. tehnik proporsional gerak tari 
5. Tari Anak II

A.4. JENJANG DASAR LANJUTAN 
1. tehnik tanjakan 
2. tehnik egol 
3. tehnik godeg, tolehan 
4. tehnik bahu 
5. tehnik single step  & double step 
6. Tari Anak

III A.5. JENJANG DASAR TERAP 
1. tehnik penggabungan gerak 
2. tehnik iket / singget 
3. penggabungan komposisi gerak ritmis 
4. tari Anak IV

A.6. JENJANG TERAMPIL 
1. tari lanjutan I 
2. tehnik sampur 
3. properties 
4. pengenalan panggung 
5. psikis state 
6. pengenalan kostum

A.7. JENJANG MAHIR 
1. tari lanjutan II 
2. tata rias 
3. tehnik panggung 
4. improvisasi 
5. komposisi dan konfigurasi tari 
6. entertinment skill

A.8. JENJANG TARI JAWA TIMUR I, II 
• Tari Jawa Timur I a.l : 1. Tari Paraban Madura 2. Tari Topeng Legur 3. Tari Ronding 4. Tari ka Somber 5. Tari Ngremo Suroboyoan 6. Tari Ngremo Jombangan 7. Tari Ngremo Situbondo ( gaya trisnowati ) 8. Tari Ngremo Boletan (penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)
• Tari Jawa Timur II a.l : 1. Tari Topeng Getak 2. Tari Arimbi 3. Tari Gambuh 4. Tari Topeng Bapang/Malangan 5. Tari Beskalan 6. Tari Tani Lamongan 7. Tari Surengkarti 8. Tari Religi
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)

A.9. JENJANG TARI JAWA TIMUR III, IV 
• Tari Jawa Timur III a.l : 1. Tari Gondrang 2. Tari Hadrah Kuntulan 3. Tari Salatun 4. Tari Jejer Jaran Dhawuk 5. Tari Jejer Gandrung 6. Tari Kundaran 7. Tari Gandrung Dor 8. Tari Jaran Bhuto 9. Tari Kembang Jaran Goyang 10. Tari Prajurit
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)
• Tari Jawa Timur IV a.l : 1. Tari Merak Wetanan 2. Tari Silir 3. Tari Garuda Nusantara 4. Tari Reingkos 5. Tari Kuda Serek 6. Tari Karapan Sapi 7. Tari Celeng Bhuto 8. Tari Burung Bisen 9. Tari Kidhangan 10. Tari Enggang Clurik
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)

A.10. JENJANG SILANG GAYA SOLO, YOGJA 
• Silang Gaya Solo 1. Tari Kedaton Puteri 2. Tari Gambyong 3. Tari Asmorodhono 4. Tari Candhik Ayu • Silang Gaya Yogja 1. Tari Klana Tunjung Seto 2. Tari Ketawang Bedoyo 3. Tari Jaranan 4. Tari Bondan – Beksan 5. Tari Serimpi
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)
A.11. JENJANG SILANG GAYA SUNDA, BETAWI • Silang Gaya Sunda 1. Tari Merak 2. Tari Ngibing 3. Tari Jaipong Parahyangan • Silang Gaya Betawi 1. Tari Yapong 2. Tari Topeng Betawi 3. Tari Cha bun Chien 4. Tari Ronggeng
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)
A.12. JENJANG SILANG GAYA BALI 1. Tari Manuk Rawa 2. Tari Legong Keraton 3. Tari Barong katheen 4. Tari Baris 5. Tari Kidang Kencana 6. Tari Gabor 7. dll.
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)
A.13. JENJANG SILANG GAYA ANDALAS, BORNEO 1. Tari Piring 2. Tari payung 3. Tari Roncek Rana Rangkayo 4. Tari Sakahaga 5. Tari Burung Hiking 6. Tari Zafin Bapadu 7. Tari Rangke Marantai 8. Tari Egran 9. Tari Dendang – Badendang
(penggantian materi bisa dilakukan sesuai kebutuhan)
A.14. JENJANG ESTETISASI GERAK DAN TARI 
1. Pengetahuan Estetisasi Gerak dan Tari 2. Tehnik Notasi Gerak 3. Tehnik Vokal Tari 

A.15. JENJANG ESTETISASI TABUH IRINGAN TARI 
1. Tehnik Hubungan gerak dan iringan 2. Tehnik Grafik Komposisi tari dan iringan 3. Tehnik Penyesuaian gerak dengan iringan

A.16. JENJANG ESTETISASI GERAK DAN TARI KONTEMPORER I 
1. Dramaturgi 2. Classical Ballet 3. Quick Step 4. Configuration Body Art 5. Wirasa 6. Salsa Step 
A.17. JENJANG ESTETISASI GERAK DAN TARI KONTEMPORER II 
1. theatre dance 2. Blow Scrool Step 3. Flying Bird 4. Emotion Fill 5. Harmony 6. Run On The Sky 7. Effect’s 
A.18. JENJANG INSTRUKTUR TARI 
1. Sistem Olah Tubuh 2. Sistem Olah Rasa 3. Sistem Olah Irama 4. Psikis Anak dan Tari 5. Ngiding 6. Kinesiologi  7. Symbolic Of Dance

A.19. JENJANG DISKRIPSI - ANALISA GERAK DAN KARAKTER 
1. Literatur Tari 2. Analisa bentuk 3. Analisa Penamaan Gerak 4. Kinesiologi / Symbolic Of Composition and Floor Pattern

A.20. JENJANG PEMBAWAAN 
1. Penentuan Kararter Penari 2. Uji Pembawaan Karakter

B. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN 
Terurai pada buku pegangan Instruktur dengan pemberian materi disesuaikan dengan kondisi siswa 
C. TUJUAN INTRUKSIONAL UMUM ( T I U ) 
Terurai pada buku pegangan Instruktur 
D. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS ( T I K ) 
Terurai pada buku pegangan Instruktur

0 komentar:

BANGSACARA RAGAPADMI


FESTIVAL SENI PERTUNJUKAN ADIKARA JAWA TIMUR 2008
“ BANGSACARA”

sinopsis
Sebuah legenda putri yang terasingkan “Ragapadmi” putri dari seorang Raja Majapahit yang sengaja dibuang di sebuah pulau kecil sebelah selatan kota Sampang. Kesedihan hati semakin dirasakan oleh gadis bertubuh elok yang dipenuhi luka borok disekujur tubuhnya, serta bau amis dan busuk yang begitu menyengat. Itu semua ia dapatkan dari perlakuan yang tidak adil dari keluarganya.
Cinta dan kesetiaan seorang manusia jugalah di alami sepasang anjing, kodrat yang diberikan tuhan sungguhlah agung, kesetiaan seorang gadis yang selalu merintih akan rasa diskriminasi serta intimidasi yang yang ia alami akhirnya berujung pada sebuah kematian yang senantiasa melingkari pola hidupnya. Akankah kesetiaaan cinta itu tumbuh pada manusia lain tanpa diakhiri dengan kematian

descript >>> 

Cinta dan kesetiaan seorang manusia jugalah di alami sepasang anjing, kodrat yang diberikan tuhan sungguhlah agung, kesetiaan seorang gadis yang selalu merintih akan rasa diskriminasi serta intimidasi yang yang ia alami akhirnya berujung pada sebuah kematian yang senantiasa melingkari pola hidupnya. Akankah kesetiaaan cinta itu tumbuh pada manusia lain tanpa diakhiri kematian?

Stage 1
Narasi Sastra
Kisah gelisah yang menggelayut di hati seorang putri raja yang diasingkan di pulau terpencil tepatnya di Pulau Mandangin (ghili) -/+ 2 mil sebelah selatan Kota Sampang. Ragapadmi nama si putri malang itu. Penyakit kulit yang dideritanya tak kunjung sembuh dan berubah menjadi borok yang menjijikkan serta mengeluarkan bau yang tidak enak. Tapi hal itu tak pernah ia bayangkan harus menanggung semua kehidupannya yang tragis.
Si gadis yang sebenarnya mempunyai paras jelita itu kini tidak berdaya lagi, dengan tatap mata kosong memandang ke segala penjuru pulau tak berpenghuni seraya hatinya memberontak dan menjerit, walau hanya dengan alunan musik jiwa yang menghimpit rongga dadanya namun tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Rasa derita yang ia alami semakin bergemuruh dalam jiwa si gadis malang tersebut.

Stage 2
Kesendirian ragapadmi seorang puteri raja yang harus merenungi nasib akan ketidak adilan, diskriminasi, intimidasi yang menimpa dirinya sehingga ia harus menanggung akibat yang tak pernah ia kehendaki. Keterasingan dirinya di pulau terpencil tepatnya Pulau Mandingin sebelah selatan Kota Sampang pada tahun 1305 Saka atau tahun 1383 Masehi ( terdapat pada situs Candrasengkala yang merujuk pada sebuah ceritera lama P. Bangsacara)  membuat hidupnya kelam. Angan dan cita pun pudar seketika yang ada hanyalah ratapan bhatin yang tak pernah hilang dari sorot matanya. Terkadang ia harus memberontak akan keadaan tapi hanya diam seribu bahasa tak tahu kepada siapa ia harus mengatakannya, hanyalah kidung sunyi yang selalu menemani keterasingannya. Serak, parau terjerembab dalam kubangan hina.

Stage 3
Pertemuannya dengan seorang Pangeran yang sedang berburu dengan para pengawalnya yang tak lain adalah Pangeran Bangsacara telah merubah garis hidup menjadi terang kala selarik cahaya hidupnya telah menyembuhkan dirinya dari penyakit kulit dengan bau tak sedap yang selama ini telah membuat dirinya diasingkan. Setiap hari ia selalu ditemani oleh pujaan hatinya dan sepasang anjing kesayangan yaitu “Se Tapluk” dan “Se Tanduk” yang dibawa oleh Pangeran Bangsacara.
Kini kehidupan Ragapadmi semakin bahagia dengan kehadiran seorang lelaki dalam hidupnya. Ia juga selalu ditemani dengan sepasang anjing kesayangannya yang selalu setia menjaga Ragapadmi kemanapun ia pergi. Suasana pun semakin ramai dengan dibawanya pengawal dan beberapa putri kerajaan untuk menemani Ragapadmi yang cantik jelita nan anggun.
Stage 4
Sebagai seorang Patih kerajaan, P. Bangsacara menerima tugas dari Kerajaan Pamadhekan (Madhekan) Sampang, maka berangkatlah P. Bangsacara untuk memenuhi tugas dan kewajibannya memimpin perang. Dengan berat hati Ragapadmi pun mengabulkan permintaaan pangeran dengan rasa cinta yang begitu mendalam.
Hari demi hari ia jalani dengan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Tembang kasmaran pun ia lantunkan untuk pujaan hatinya seraya mengelus anjing kesayangannya. Hatinya selalu dipenuhi seribu pertanyaan bagainama keadaan kekasihnya yang sedang menjalankan tugas di medan laga. Perasaan rindu yang semakin membuncah ia utarakan hanya kepada sepasang anjing kesayangannya yang selalu setia menemaninya.
Slide Background : ( Tablo) Suasana gemuruh perang
Stage 5
Diantara asa dan kerinduan yang sangat mendalam menjalar pada setiap relung hati ragapadmi akhirnya ia mendengar akan kematian Pangeran Bangsacara yang terbunuh di medan perang, kontan ia menjerit memecah angkasa kelam. Takdir yang ia jalani dengan penderitaan kini bertambah dengan sirnanya lentera jiwa ragapadmi yang ia rasakan sesaat.
Sepasang anjingnyapun ikut merasakan kehilangan dengan linangan air mata dan erangan jiwa yang terus memuncak. Dunia kini terasa senyap, sunyi itu yang dirasakan Dewi Ragapadmi. Hanya keris yang terbuka dari selubung ia genggam dengan erat. Mata itu menatap tajam tanpa ada rasa. Yang ia rasakan hanyalah rasa dingin dari benda yang terselip di tubuhnya. Matanya tertutup rapat tak kuasa lagi ia menahan penderitaan hidupnya. Kini semuanya senyap ... sunyi ... tak bergeming ...
Kini hanya tinggal sepasang anjing kesayangan yang selalu setia menunggu tanpa makan seakan ia merasakan penderitaan yang dialami tuannya. Sehingga sepasang anjing itu pun juga harus merasakan derita yang telah dirasakan tuannya.


Naskah : kikana rahman
Kikana Rahman Arts Production / point art of dance

Malang, 22 Mei 2008 
5 penyaji terbaik unggulan jawa timur 2008 di festival seni pertunjukan adhikara

players >>>

Eko Fajarisman
Penari/Pengawal
Suwito Bagus Panuntun
Bangsacara
Arissa
Ragapatmi
Fifi Widyawati
Penari
Waduq
Penari
Titik
Penari
Uut Suwardhani
Penari
Yulia FB
Penari
Musthaf
Penari/Pengawal
Agung Wibisono
Anjing/Se’ Tapluk
Pratama Putra
Anjing/Se’Tanduk
Pardalyadi bantul
Kendang / gambang
Moh. Munif
Duk-duk
Sugihartono jogjakarta
Gong
Amar Jaya
Saron / dukduk
Sidik Hartono
Suling / duk-duk
Zaman Gunawan
Bonang
Briliant A kediri
Duk-duk
Okta Ratna Wicaksana madiun
jimbe
Elly Banyuwangi
Penata cahaya


kikanarahman's ragapadmi album on Photobucket

0 komentar:

KUSIR DELMAN DAN WAKUNCAR


cerita : Anugh
sutradara : untung rifai
artistik : kikana rahman
musik : kikana rahman
penyaji terbaik dan penulisan naskah terbaik 
festival budi pekerti jawa timur 2007
act : Blossom community, Sampang


1.      Pak Musik : (lagu tanjung perak gaya lepas)
2.     Pak Kopal  : (keluar, membawa kotak besar, diletakkan dikursi lalu membungkukkan badan dan menaruhnya) Beginilah kalau aktor disuruh mengangkat property sendiri. (Mengusap keringat)
3.     Pak Musik : Pak, baru dateng kok ngerasani orang
4.    Pak Kopal   : (meletakkan kotak yang ternyata karambol mini) Keterlaluan tidak ngajeni orang tua
5.    Pak Musik  : Wah… tersinggung melukai your feeling tu pak (di tambah komentar lainnya)
6.    Pak Kopal   : (menata biji karambol yang telah diambil dari sakunya, lalu sibuk mencari-cari sesuatu) Pak musik, kalian tahu dimana bijiku yang satu ?
7.    Pak Musik  : masa bapak tidak tahu lha wong lengket di tubuh bapak begitu, didalam itu-tu… sekarang sedang diatas…
8.    Pak Kopal   : kalian jangan main-main,saya serius. Masa biji karambol bisa lengket, di dalam itu-tu, malah di atas lagi
9.      Pak Musik : Wah, asosiasinya Bapak ke pulau Irian. Di sana lho pak, di… anu… di dalam kopyah Bapak
10. Pak Kopal  : (membuka kopyahnya, melihat dalamnya lalu heran) tidak da begini (mencari di rambutnya) oh ini, oh ya ini saya manipulasi dari Kromo tadi siang. (berbisik) pak musik harus janji, tidak bilang siapa-siapa berhubung bijiku telah disapu istri tercinta (berbisik lalu sibuk bermain karambol) loh, bagaimana cara membidik yang tepat masuk lubang, tanpa menimbulkan efek samping. Misalnya yang dibidik masuk, tapi “gaco”nya ikut masuk. Atau nyenggol tetangga-tetangganya. Ini dalam karambol, jangan dipraktekkan lho! Oya, aku punya cara yang tepat untuk mengatasi semuanya (bangkit masuk kedalam)
11. Pak Musik : jedapenghubung .,…………………..
12. Pak Kopal  : (keluar,membawa buku, mondar-mandir dan manggut-manggut seperti sedang menghafal)
13. Pak Musik : apa yang dibaca pak, seperti cewek dapat surat cinta saja
14. Pak Kopal  : inilah buku petunjuk pemain karambol yang baik dan benar, jadi tidak ngawur, tidak anut grubyuk. Karena semua itu ada aturannya ada undang-undangnya (lalu sibuk bermain lagi)
15. Jamilah      : (keluar berjingkat-jingkat) La… kok pakai buku petunjuk.
16. Pak Kopal  : kamu membuat bapak terkejut saja, sampai bijiku tak mau masuk lubang. Makmu kemana nduk biasanya kalo aku bermain begini dia cemburu.
17. Jamilah      : nonton wayang dikelurahan, sejak jam 4 tadi.
18. Pak Kopal  : mainnya jam berapa nduk?
19. Jamilah      : ya, jam 10. Emak kan membantu membuat masakan. Lha bapak tidak nonton?
20. Pak Kopal  : wayang itu kuno, tontonannya orang-orang ompong, peot. Sedangkan aku kan masih muda dan gagah. Nonton wayang, sama saja mengejek aku sendiri.
21. Jamilah      : kok begitu ?
22. Pak Kopal  : bagaimana tidak, wayang itu kan dibuat dari balungan, dan kulit, padahal saya kan juga tinggal tulang terbungkus kulit saja. Itu kan menghina… lebih malu lagi kalo ada cakilnya.
23. Jamilah      : malah sekarang bapak main klotekan sampai lupa segalanya, beras habis mbuh ra ruh… kemana emak, mbuh ra ruh, mbuh ra ruh, mbuh ra ruh… sampai-sampai piket kampung pun mbuh ra ruh dilupakan demi klotekan…
24. Pak Kopal  : lha, dunia sudah terbalik, bapak dimarahi anak kamu mbok jangan kemleter. Karambol kan lebih afdol dari wayang, lebih bonafit dari keluyuran. Tidak usah piket dikampung, kan aku setiap malam sudah memiketi makmu. Eh maksudku, menjaga dari ancaman musuh dalam selimut. Kalau setiap orang dikampung ini menjaga istri-istrinya masing-masing seperti aku, amanlah dunia. Spionase dan penanaman modal asing akan musnah seketika. Tidak ada lagi (memasukkan biji ke lubang) masuk…..
25. Jamilah      : (melihat keluar, membuka pintu menutup lagi, lalu mondar-mandir)
26. Pak Kopal  : ada apa kamu kok memeti nduk? Seperti babon mau bertelur.
27. Jamilah      : nunggu temen emm mau nonton wayang.
28. Pak Kopal  : ingat lho nanti calon suamimu ngapeli kamu. Lho kok kaget? Dia itu putranya Den Syarif juragan tempe paling kaya di kampung kita itu.
29. Jamilah      : saya (kaget) tidak mau (marah), tidak mau (sedih), tidak mau (manja)
30. Pak Kopal  : jangan malu-malu kucing, ini kanjeng Pangeran, kau akan kawin dengan keturunan Bangsawan. Kamu akan mukti. Ya, tentu saja aku dan makmu akan “numpang” nunut kamuktenmu itu. Ini adalah prinsip ekonomi. Ya kalau kamu tidak mau sama dosanya dengan menolak takdir.
31. Jamilah      : (bangkit, sedih memandang keluar, lalu berbalik dan menangis)
32. Musik        : (derap sepatu kuda dan kusir menghalau. Menyanyikan cuplikan lagu Jamilah)
33. Jamilah      : (bangkit, kelihatan gembira, melihat keluar menunggu di depan pintu dengan was-was. Musik berhenti dia membukakan pintu)
34. Gatul          : halo Jamilah, oh halo bapak.
35. Pak Kopal  : (mengacaukan biji-biji karambol dengan gemas, pergi sambil menggerutu) Kusir delman sinting !
36. Gatul          : lama menanti, my darling ?
37.  Jamilah     : (cemberut) selalu begitu, terlambat itu budayamu.
38. Gatul          : maafkan aku, manis (mencubit pipi jamilah, tetapi ditolak dengan kasar)
39. Jamilah      : mbok aku dirayu aku kan pacarmu (manja)
40. Musik        : (apel malam minggu aku malu malu, apel minggu lainnya ku pasang strategi)
41. Gatul          : stop stop, benar kalian. Akan kupasang strategi untuk menggoyahkan benteng musuh dan menaklukkannya pelan-pelan.
42. Musik        : nyanyi lagi, mas Gatul ?
43. Gatul          : jangan, jangan nanti mengganggu, tapi jangan coba-coba ngintip, aku malu-malu. (duduk mendekat tapi jamilah menjauh, tapi gatul mengejar terus sampai ujung kursi). Jamilah, kalau kamu marah semakin manis.
44. Jamilah      : (marah) itukan sudah konvensional, sudah klisetoh. Aku bukan penjual manisan.
45. Gatul          : dikaulah pembangkit jiwa dan penerang hidupku
46. Jamilah      : huh, kau anggap  pegawai listrik, menerangi hidupmu, tak usah ya.
47. Gatul          : andaikan, engkau gunung Fujiyama, aku akan menemanimu sebagai angin yang membelai-belai tubuhmu yang putih dan halus ini.
48. Jamilah      : kalau aku jadi angin ?
49. Gatul          : aku akan jadi burung, terbang diatasmu menjelajahi wajahmu yang mulus, lembut tanpa jerawat.
50. Jamilah      : kalau aku jadi burungnya ?
51. Gatul          : aku akan jadi pemburunya, akan aku tembak tubuhmu yang elok dan menawan hati. Kubawa pulang sebagai penghias rumahku.
52. Jamilah      : kalo pemburunya aku ?
53. Gatul          : aku jadi tembaknya, yang selalu setia menemani engkau kemanapun pergi
54. Jamilah      : kalau aku tembaknya ?
55. Gatul          : pelurunya aku, yang selalu hangat dalam pelukanmu
56. Jamilah      : enak saja, aku bukan ilmu pengetahuan alam yang bisa diubah seenak dengkulmu ! (ganti tempat)
57. Gatul          : maksudku, engkaulah segala-galanya bagiku, ehm …….. tanganmu haluuuus sekali jamilah (tangannya merayap ke tangan jamilah tapi tidak memandangnya karena gugup, dengan cepat jamilah menyodorkan balon yang berbunyi. Dengan mesra gatul membelainya) tanganmu bener-benar halus dan licin. Boleh aku meremasnya ? (maka diremasnya balon itu hingga berbunyi. Gatul terkejut sampai meloncat). Kamu itu senang ya melihat kekasihmu terkejut. Untung aku nggak kena penyakit jantung, kalau kena (marah), pasti sudah diterbangkan ke dokter indraka apriadi, ahli penyakit dalam.
58. Jamilah      : dalam jantung, dalam rumah, dalam kantung, dalam ini, dalam itu, dalam itu, dalam itu aku juga kena penyakit dalam, dalam hati ………… masa, pacar ngapeli hanya untuk marah-marah (manja).
59. Gatul          : (menyembah) maafkan aku sayang, benar-benar aku khilaf. Oh ……. Lidah tak bertulang
60. Jamilah      : (memalingkan muka dengan cemberut)
61. Salim          : ( menengok ke dalam lewat jendela pintu) Oh … mati aku
62. Musik        : sampakan mydley tokecang
63. Salim          : (memutar pintu) Jamilah, kamu kan jamilah, mengapa dikau pacaran sama si gatul? Dia kan kusir pribadinya bapakku. Jamilah, bukannya dikau telah bertunangan denganku?, oh … jamilah sayang kembalilah padaku,  atau menjauhlah dari babu itu, tujulah ke pelukanku saying.
64. Jamilah      : Huh …. Najis tak sudi aku muka blek, tak tahu malu.
65. Salim          : oh … dikau menolak cintaku?, dikau campakkan cinta suci ini, kejam nian hatimu. (marah) akan aku adukan pada bapakku. He gatul ayo ikut, kupecat kau.
66. Gatul          : maaf tuan, aku sudah benar-benar lengket dengan jamilah. Walau aku dipecat, aku akan menjadi kusirnya yang agung.
67. Salim          : (berlari ke pintu terbalik) awas … kalian tunggu disini
68. Gatul          :  (naik ke kursi) silahkan tuan yang terhormat, aku pertahankan sampai titik darah penghabisan (teriak). (tapi kemudian berubah menjadi cemas), bagaimana ini …. Oh, ( berlari mondar-mandir).
69. Jamilah      : katanya berani
70. P. Syarif     : (keluar) mana …. Dimana calon menantu saya ?
71. Music         : calon menantu tuan kini sedang pacaran
72. P. Syarif     : kamu jangan memfitnah, dia itu sudah ditunangkan (mengetuk pintu)
73. Gatul          : oh … oh ada tamu (seperti tak sadar gatul memutar pintu tapi setelah mengetahui yang dating pak sarif maka ditutup lagi) Oh …. Dia sudah dating (ketakutan mondar mandir setelah sembunyi di bawah kursi) buka (berbisik pada jamilah)
74. P. Syarif     : kopal …. Dimana kopal, keluarlah penghianat (berteriak) (lalu Syarif masuk setelah dibukakan pintu oleh jamilah  dan ditutup lagi ketika salim mau masuk. Salim memutar pintu sendiri). Kopal keluar! ….. jamilah mana si gatul, akan aku bunuh dia (seraya mengeluarkan celurit).
75. Kopal         : (keluar sambil membawa tongkat, seperti habis bangun tidur) ada apa den ? seperti kebakaran jenggot saja.
76. P. Syarif     : ini soal harga diri. Harga driku dan harga diri anakku salim (sambil memukulkan tongkatnya ke atas meja karambol) kau telah membantingnya, kau telah mengingkari janji putra Madura. Ah …. Sahabat bertahun-tahun kini pembohong, kubunuh kau …
77. P. kopal     : sabar den, akan saya jelaskan dulu
78. Jamilah      : berhenti pak (memelas sambil merangkul tangan syarif dengan cemas, kuatir ayahnya cidera)
79. P. Syarif     : baiklah (lunak) untung lho aku berhati baik dan sabar, tapi dimana gatul? Dimana, kubunuh dia.
80. Jamilah      : jangan dibunuh den, dia gak ada (karena ketakutan dia mundur dan kakinya menginjak tangan gatul)
81. Gatul          : aaooo …. (kesakitan)
82. P. Syarif     : oooo …. Ini (membuka bangku) kamu telah melunturkan kepercayaanku, kupukul kau.
83. P. kopal     : sudahlah den, kita rembuk secara kekeluargaan, karena kursi hanya satu, maka kita rembukan di bawah saja. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. (kemudian mereka duduk melingkari papan karambol mini tersebut).
84. P. Syarif     : sudah, apa yang mesti kita bicarakan, hee….
85. Jamilah      : Anu…Den Syarif yang baik hati.Eee…,…Jamilah tidak mau…
86. P.Syarif      : Mengapa tidak mau….?(Marah) dia itu jebulan Universitas dikota lho.
87. Salim          : Benar Den. Tapi perlu diketahui bahwa saya tidak jebol. (Selalu ngegongi P.Syarif)
88. P.Syarif      : Lho, itu anak saya……Pak Syarif yang kaya raya. Wistalah kebutuhanmu….lipstik, sydu,make-up, dst (diucapkan dengan cepat. Dia akan (merangkul biji karambol)….memberi bapakku …..(member biji karambol) juga mendermakan orang miskin seperti kamu. (Memberikan biji karambol satu buah kepada Gatul).Serta akan memberikan hartanya kepadamu.(Sambil memberikan seluruh biji karambol kepada Jamilah).
89. Jamilah      : Huh…haram bagiku! (melempar biji karambol itu sehingga jatuh kepapan karambol lagi)
90. P. Kopal     : Sudahlah nduk…..terima saja, supaya bapak kemaluannya tidak tambah besar kepada Den Syarif. Kowe tau bahwa tempe yang kau makan selama 2 tahun ini adalah pemberian dan kebaikan Den Syarif. Gratis.
91. Jamilah      : Aku tak sudi
92. Salim          : Hee…apa yang kamu banggakan dari kusir delman itu ?
93. Jamilah      : Hatinya suci dan punya pekerjaan. Tidak seperti kamu (menuding) Sarjana tapi klontang klantung. Itu pengangguran samar
94. P. kopal     : Tapi dia, nduk.
95. Jamilah      : Yeeek….Kaya karena pemerasan saja kok dibanggakan   !
96. P.Kopal      : Nduk…(marah) kamu itu kalau bicara mbok yo jangan prucat-prucut seperti membuat pentol saja kamu nanti bisa saja dicabuti lho rambutmu  !........ (berpaling ke Gatul). Hee Gatul. Apakah kamu ingin menjadi pahlawan, heh ?........itu kudamu sendiri (dengan angkuh)
97. Gathul       : Betul, pak. Walau kreditnya belum lunas.
98. P.Kopal      : Kau rawat dengan baik-baik kuda itu. Apakah kalau memandikan kamu sikat sampai bersih ?
99. Gathul       : Jelas toh setiap hari saya mandikan sampai mengkilat kok.
100.   P.Syarif      : Nah…..ketahuan belangnya kalau dia memandikan sampai                   bersih tentu juga ia membersihkan hal-hal yang rahasia. Iya kan ? jadi ia sangat sensitive sama kuda,Pak.
101.   P.Kopal      : Kalau kau memandikan kudamu kemana ?
102.   Gathul       : Ke sungai, Pak.
103.   P.Kopal      : Ke sungai tempat orang-orang kampung itu ?......ada perawannya ?
104.   Gathul       : Ia, disana banyak orang-orang mandi
105.   P.Kopal      : Kau juga ngintip perawan-perawan yang mandi itu kan ? akui sajalah !
106.   Gathul       : Tidak………..tidak…………… tapi kadang-kadang.
107.   P.Kopal      : Kalu kau sedang jagong malam hari lantas ada cewek cantik. Lantas apa yag kamu lakukan ?
108.   Gathul       : Demi kemanusiaan saya akan mengantarkannya sampai kerumah
109.   P.Syarif      : Jelas pada malam hari dingin dan sepi berdua jelas saja dia ini tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti. Nah sekarang boleh tidak boleh Jamilah harus kawin dengan salim.Kalau Pak Kopal menolak , Hutang dan jatah selama 2 tahun harus dibayar sekarang juga.
110.   Salim          : Betul, Pak
111.   P.Syarif      : Di Sampig itu kalau Pak Kopal menolak itu berrarti kau menghina keturunan bangsawan karaton yaitu Sila Al Sialan Hanyokro Balimbing yen adus ning kali yen mangan neng warung resuruh bumi.  
112.   P.Kopa       : Saya tidak sanggup membayar, den, eeeehh…..Jamilah terima sajalah lamaranya.
113.   Jamilah      : Tapi saya tidak cinta lho.Pak.
114.   P.Kopal      : Harus di terima……..harus !
115.   Jamilah      : Kok maksa to ?
116.   Salim          : Lho paksa-memaksa hukumnya wajib lho jeng.
117.   P.Kopal      : Alah sudahlah. Untuk sementara ini kamu harus manut sama bapakmu……Kamu tau bahwa bapakmu dulu sama ibumu asalnya dak seneng . Tapi malamnya waktu ibumu melihat kumis ini langsung jatuh cinta kok.
118.   P.Syarif      : Pak, sampean kalau tidak bisa memaksa anak sampeyan akan saya bunuh sampeyan (Sambil mencabut celurit kearah pak Kopal)
119.   Jamilah      : Jangan Den, Jangan bunuh Bapakku………..Oh (Menan)
120.   P.Syarif      : ah, kalau kasihan Bapakmu, kamu harus menerimanya.
121.   Jamiah       : Saya tidak bias menerimaya  ! (menangis)
122.   P.Kopal      : Apa  !
123.   Jamilah      : (Menangis) aku tidak dapat menerimanya……..karena saya sudah berbadan………. Dua………
124.   P.Syarif      : Mmmmmatttti aku !
125.   P.Kopal      : Jadi kau sudah hamil …………….(smash) kau sudah mencoreng arang dikening bapakmu, Nak
126.   Salim          : (Berjala sambil membawa saputangan dam memberikan kepada Bapaknya )
127.   P.Kopal      : Dengkolmu anjlok kono  !..............Sudah mahasiswa kok masih pah-poh 
128.   P.Syarif      : Thol, nin oasti yg jadi beang keroknya adalah kamu
129.   Salim          : Pak……….. dari pada keluarga kita turun kehormatan lebih baik aku tidak kawin . Pulang pak (jengkel)
130.   P.Kopal      : (Menyesal) Ini semua gara-gara kamu aku sekarang malu (mengis sambil merebahkam mukanya kemeja kerambol)………………………….
131.   Jamilah      :Maafkan saya Pak……….(Pause) Pak apakah Bapak tidak mau mengawinkan saya dengan mas Gathul
132.   P.Kopal      : Baik saya restui (Angkuh)
133.   Jamilah      : Sungguh Pak
134.   Jamilah      : (Merayu) Pak, Bapak jangan kecewa dengan apa yang Jamilah lakukan hal ini beja bagi kita Pak
135.   P.Kopal      : Beja bagaimana / kegelakaan gitu kok kamu arani bejo
136.   Gathul       : Pak.Sebenarnya apa yang disangka bapak itu tidak benar
137.   P.Kopal      : Jelas yang melakukan ngaku kok.
138.   Gathul       : Sebenarnya ini adalah sandiwara , Pak
139.   Jamilah      : Betul Pak sebenarnya saya tidak hamil
140.   P.Kopal      : Mengapa kau melakukan semua ini  ?
141.   Jamilah      : Sebenarnya saya cinta sama Gathul, Untuk itu saya mencari jalan untuk menolak Salim. Akhirnya saya membuat pengakuan seperti ini, biar keluarga pak Syarif tidak jadi memaksa Bapak mengawinkan Salim dengan Saya, Pak
142.   Gathul       : karena sudah Bapak restui maka saya dan Jamilah akan ke Penghulu sambil keliling menaik delman, Pak ( kedua insan itu pergi )
143.   P. Kopal     : ( menangis ) oh,…………………………..tidak jadi besanan keturunan Bangsawan…………………………… Ohhhhhhhhhhhhhh……………………………………             



Block out --- on stage

1 komentar: