Tubuh manusia
telah menjadi tari dan teater sekaligus, begitu dia berjalan menghadapi dunia luar yang adalah peta bergerak bagi berbagai simpul
kepentingan dan konflik. Sudah sejak lama manusia begitu tergoda pada tubuhnya
sendiri. Melalui berbagai gelombang peradaban, godaan itu menggiring manusia
mencari bayangan sakral Tuhan sekaligus mencari kepuasaan karnal dirinya lewat
tubuhnya sendiri. Dan tubuh adalah ihwal yang mengalami bentukan budaya dari
berbagai nilai, yang pada gilirannya memperlihatkan bagaimana manusia mengalami
kesulitan dalam membaca tubuhnya sendiri. Semua peradaban manusia berkaitan
langsung dengan kelebihan, keterbatasan maupun pengagungan tubuh manusia, sejak
dari militerisme, seni, filsafat hingga ke kosmetika.
Antropologi
visual, yang bisa kita pakai membaca banyak produk karya seni yang dapat dinikmati dengan mata, terutama fotografi dan film,
menyingkapkan bagaimana seni melakukan pergulatan panjang dengan tubuh manusia.
Sebuah godaan yang pada gilirannya terkesan lebih mirip dengan bagaimana
manusia sebenarnya gemetar melihat tubuhnya sendiri, karena tubuhnya bisa
sakit, terluka, lumpuh, tua, cacat dan mati. Tubuh manusia adalah medan perang
dengan lalu lintas nilai yang bergerak di sekitarnya, mulai dari soal kegagahan
dan kecantikan; ikon ras, ideologi dan agama, hingga ke ikon kelas ekonomi yang
menegaskan diri dari pakaian yang dikenakan.
Tulisan ini
merupakan bagian dari usaha saya untuk melihat fenomena tubuh dalam seni pertunjukan
kita, khususnya “tubuh tari” dan “tubuh teater”. Saya meletakkannya dalam
konteks budaya lisan terutama karena melihat besarnya kebutuhan masyarakat
untuk saling bercerita dalam pergaulan sehari-hari. Pergaulan dan kebutuhan
yang sarat dengan aktivitas mulut itu, di satu sisi menghasilkan informasi,
namun di sisi lain mendorong berkembangnya masyarakat gosip.
Tubuh manusia
tidak hanya bisa berdiri dan berjalan, tetapi juga bisa, dan sering, gemetar.
Saya melakukan perbandingan bebas antara tubuh-tari dengan tubuh-teater, juga
sedikit dengan tubuh yang dibawa oleh fenomena munculnya performance art.
Perbandingan ini saya gunakan tidak dalam arti khusus membicarakan tari atau
teater, melainkan lebih kepada fenomena tubuh dari keduanya, yang saya tangkap
melalui pengalaman menonton teater dan tari di berbagai kota. Perbandingan
seperti ini yang saya kira baru sekali ini dilakukan dalam pembicaraan wacana-wacana
seni pertunjukan di Indonesia.
Tari dan teater
merupakan godaan terbesar dalam kerja kesenian, karena keduanya hidup sebagai
kesenian yang paling dekat dengan manusia, dengan diri kita. Kedua bidang seni
ini menggunakan media langsung dari dirinya, yaitu tubuhnya sendiri. Bidang
kesenian yang lain menggunakan alat atau media yang berjarak dengan—dan bukan
bagian langsung dari—
tubuhnya. Karena itu pula tubuh-tari dan tubuh-teater merupakan
tubuh yang mengalami langsung kegelisahan menguasai posisi, ketika tubuh sudah
berada di ruang pentas dengan mata penonton yang terus menatap setiap gerak dan
tindakan. Tubuh-tubuh itu mengalami langsung seluruh proses gelombang
objektifikasi maupun subjektifikasi yang bergelora di ruang pentas.
Seniman dari
bidang lain tidak mengalami kegelisahan tubuh seperti ini. Mereka telah mati ketika
karyanya sudah sampai di tangan pembaca sebagai karya sastra, senirupa atau
musik. Sementara aktor dan penari, mempertaruhkan langsung tubuhnya di atas
panggung dari penilaian mata penonton. Mereka juga harus menghadapi resiko lain
kalau listrik mati atau ada pemain yang sakit menjelang pentas.
Tetapi apakah
dengan begitu berarti kita bisa melihat proyeksi dunia kita sendiri lewat tari dan
teater? Bisakah tari dan teater ikut membangun “budaya publik” sebagai bagian
dari kualitas kehidupan bersama kita? Goenawan Mohamad pernah membuat sebuah
pembelaan terhadap “teater mutakhir Indonesia”, tetapi tulisan saya ini mungkin
lebih baik dibaca sebagai sebaliknya: semacam gugatan, meski agak terbatas,
terhadap keadaan umum “teater mutakhir Indonesia” dalam lingkungan budaya yang
masih sangat lisan.
Tubuh, Memori dan Ego-ego Stereotip
Aktor dalam
pertunjukan-pertunjukan yang disutradarai Konstantin Stanislavsky rata-rata buruh.
Tubuh aktor itu memiliki pengalaman kerja masing-masing. Tubuh itu juga
mengalami konflik ideologis sebagai buruh, mengalami langsung transformasi
peran dari rumah hingga pabrik (tempat mereka bekerja), dan panggung teater
(tempat mereka pentas). Ada semacam kontinyuitas perubahan peran yang
berlangsung dalam lingkungan sosial mereka; kontinyuitas yang bisa disebut
sebagai keberlanjutan teater sosial ke teater pertunjukan. Karena itu pula hubungan
teater dengan realitas sosial seperti ini mudah untuk membuat politik menjadi
teater atau sebaliknya teater menjadi politik. Lembaga-lembaga negara dan
politik (parlemen, eksekutif, lagislatif dan partai), juga sudah menjadi teater
politik. Vsevolod Meyerhold, yang mengembangkan metode akting “biomechanics”
dalam teater di Rusia, akhirnya harus menjalani hukuman mati di bawah
pemerintahan Stalin, memperlihatkan bagaimana negara masuk begitu jauh ke dalam
mati hidupnya seorang seniman teater.
Pabrik dan teater,
atau aktor dan buruh, seperti sebuah pertemuan yang panas antara aktor dengan
peran. Tetapi kondisi mental para aktornya masih memiliki sisi lain. Kalau
ditanyakan kepada para aktornya, peran apa yang ingin mereka perankan?
Kebanyakan mereka ingin memerankan raja atau ratu. Padahal mereka belum pernah
merasakan hidup sebagai raja atau ratu. Rata-rata mereka adalah buruh. Karena
itu teater bisa menjadi “rumah gila” bila hal ini tak terpecahkan. Begitu tulis
Stanislavsky dalam biografi teaternya.
Determinisme
faktor-faktor seperti itu layak diingat ketika membaca kembali hubungan
perkembangan teater dan tari di Indonesia dengan kondisi sosial
para senimannya. Tetapi budaya apakah yang menopang kehadiran teater dan tari
modern kita?
Kebanyakan aktor
di Indonesia berangkat dari kondisi yang lain sama sekali dari Rusia. Kebanyakan
mereka anak muda, mahasiswa atau penunggu kesempatan kerja. Tubuh aktor mereka,
bisa dibayangkan sebagai tubuh yang belum memiliki banyak pengalaman
transformasi peran; tubuh yang lalu berusaha diisi dengan banyak teori-teori
dramaturgi, terutama latihan fisik sebagai aktor—olah vokal, olah tubuh dan
pernafasan. Latihan latihan seperti ini sering kali tumbuh dari lingkungan yang
melihat teater sebagai tempat para pertapa melakukan latihan meditasi, atau
sebaliknya yang berkesan militeristik: tempat para kesatria adu kekuatan.
Karena itu pula teater modern di Indonesia menjadi sangat lelaki.
Di balik meditasi,
ada semacam argumentasi untuk penggalian pengalaman kedalaman
yang diperlukan aktor. Membuka wawasan ke dalam diri. Sementara
untuk olah tubuh juga ada
semacam argumentasi: untuk pengembangan wawasan ketubuhan
aktor. Keduanya bisa dianggap sebagai modal dasar untuk menjadi seorang aktor.
Tetapi saya menduga kedua model latihan ini tidak lagi cuma sekedar “modal
dasar”. Kedua latihan ini sudah menjadi teater tersendiri yang justru bisa
menutup diri untuk terjadinya transformasi peran dalam kerja teater.
Meditasi dan
latihan tubuh yang militeristik sebenarnya sudah membawa tubuh aktor kedalam
streotip tertentu, yang justru bisa “meringkus” peran yang sedang mereka jalani.
Banyak pertunjukan teater penuh dengan teriakan, suara keras, tubuh yang
tegang, atau kedalaman meditasi yang berlebihan yang hampir menjadikan dirinya
“kolam narsistik”. Dan yang hadir bukan lagi aktor dengan tubuh yang
memerankan, melainkan tubuh yang “mengatasi” peran, “menyungkupi” peran. Tubuh
itu belum sungguh-sungguh membuat “pertemuan khusus” dengan peran yang akan
mereka bawakan. Kerja sutradara dengan tubuh aktor seperti ini tidak akan pernah
jauh dari kerja permainan bentuk.
Teater dengan model latihan di atas, sebenarnya cenderung
melahirkan teater anti-peran dan
anti-cerita. Teater ini lebih dekat dengan model “kesurupan” dalam seni
pertunjukan tradisi kita, sebagai
“kesurupan-yang-disadari”. Dalam model ini, energi yang tumbuh dalam tubuh actor jauh
lebih menentukan daripada prosedur-prosedur personifikasi yang ditempuh untuk mendekati peran.
Teater dengan model ini memiliki potensi besar membuka “jalan tubuh” sebagai
jalan dramaturgi, ketika aktor bisa mengatasi
masalah “pengelembungan” diri yang cenderung “mengatasi” peran kemudian menemukan kerja
pemeranan sebagai “menjadi”.
Dalam kenyataannya, budaya tubuh yang berlangsung dalam
kebanyakan aktor di Indonesia memang lebih dekat dengan
kerja pemeranan “menjadi”, dibandingkan dengan konsep pemeranan
“transformasi” yang lebih bermain di tingkat disain dan eksekusi terhadap
desain pemeranan yang dijalani. Saya
seperti memasuki ruang dengan bunyi-bunyian yang terdengar kering lewat suara serak Amak Baljun
(aktor penting dari Teater Kecil, Arifin C. Noer). Amak mampu
berpindah-pindah peran dari tokoh Semar ke tokoh Waska dalam pertunjukan Umang- Umang, seperti radio yang
berganti gelombang, dan bukan berganti jenis radio. Kekuatan yang sama saya temukan pada Zainal Abidin
(aktor penting Teater Sae, Boedi S. Otong), yang membuat
tubuhnya seperti perjalanan peregangan yang dimulai dari penjuluran kedua
tangan ke bawah, naik ke otot-otot leher dan
berakhir dengan mulut setengah menganga. Perjalanan peregangan
tubuh ini bisa menjadi metafor ketika ekstasi atau katarsis ditunda
ketuntasannya lewat mulut yang setengah menganga
itu.
Saya menduga kedua aktor itu menjalankan konsep pemeranan
menjadi dan berhasil sebagai “menjadi
yang mencengangkan”. Aktor-aktor seperti ini tidak membuat bingkai pada identitas peran yang mereka jalani.
Melainkan membuka ruang dalam, membawa penonton ke dalam ruang personal yang dibangun aktor.
Hubungan antara aktor dan peran yang dijalaninya terkesan
lebih sebagai hubungan substansial dan bukan material. Peran seperti dibaca
sebagai enerji atau sebagai “id” dengan
insting-insting ketubuhannya, dan bukan sebagai identitas social dengan
karakter yang menyertainya. Aktor seperti lahir dari perut cacing dan bukan
dari identifikasi atas antropologi pemeranan yang
dijalaninya.
Saya mengira “Teater Ruang” di Solo dan “Teater Kita” di
Makassar, atau “Teater Kubur” di
Jakarta, merupakan kelompok teater yang, dalam eksplorasi mereka,
memperlihatkan kontinyuitasnya untuk menemukan jalan
bahasa-tubuh dengan konsep pemeranan “menjadi” ini, yang terukur lewat pencapaian-pencapaian
tertentu. Teater Ruang tidak lagi semata-mata mencari bahasa-tubuh
lewat pertunjukan-pertunjukannya, melainkan juga “tubuh-grafis” yang
menghasilkan metafor-metafor lewat permainan
“tubuh” dan “bayangan-tubuh”. Ruang dikonstruksi tidak lagi oleh batas panggung, melainkan lewat proyeksi
tubuh dan bayangannya. Aktor utamanya, Helmy, membawa
Teater Ruang sebagai kerja sama antara aktor dan sutradara (Joko Bibit), seperti
kerja sama antara tubuh dengan bayangannya.
Ruang disutradarai lewat cahaya yang dibawa langsung oleh
aktor. Grafis pertunjukan Teater Ruang, seperti dunia optik dalam kerja
multimedia, dan terjadi hanya lewat kerja tubuh dan
bayangan.
Tubuh yang menjadi ini, dalam pertunjukan Teater Kubur, hendak
dipertemukan dengan elemen-elemen visual yang biasa
digunakan sebagai seni instalasi oleh seniman-seniman perupa. Tubuh itu kadang hadir sebagai tubuh yang
marah dan terluka juga. Tubuh urban yang tersingkir. Pada
Teater Kita Makassar uang terjadi justru sebaliknya: tubuh yang berusaha
melahirkan kembali tradisi ketubuhan lewat
budaya yang mereka serap di sekitarnya (Bugis atau Mandar).
Ketiga kelompok teater ini memang memberikan bekas yang kuat
dalam membangun budaya tubuh
lewat pendekatan “menjadi”, istilah yang saya kira pertama kali digunakan oleh
Rendra. Pendekatan ini sebenarnya memiliki
banyak resiko membuahkan “tubuh-gila” atau “tubuh-narsis”, yakni ketika pendekatan itu gagal
menemukan bahasanya. Atau lebih tepat, gagal membaca pendekatan
itu sebagai media penyutradaraan sekaligus peralatan aktor, lalu terperangkap
dalam banyak streotip super ego yang dibiarkan
ikut mendominasi pemeranan. Inilah
yang tampak pada banyak kelompok teater di luar
Teater Ruang, Teater Kita dan Teater Kubur.
Tubuh-teater memang sensitif untuk terperangkap dalam streotip
tertentu tanpa disadari, dan menghasilkan “ego-streotip” pula.
Ego-streotip ini mudah tumbuh lewat latihan dasar dan hubungan
dengan peran-peran besar dari naskah yang mereka pentaskan. Medan perangkap itu cukup mudah dibaca:
tubuh aktor bekerja dengan memori untuk memasuki
peran; ketika memori dipenuhi oleh streotip, maka kesempatan aktor untuk
melakukan “pertemuan khusus” dengan peran
hampir sulit terjadi, terhadang oleh ego-streotipnya sendiri. Perangkap ini mungkin bisa dihindari
apabila eksplorasi awal —yang dilakukan oleh kelompok teater
ketika memasuki sebuah proyek pertunjukan—adalah melakukan pembongkaran
terhadap memori-memori sterotip yang
menguasai tubuh mereka.
Tubuh dengan ego streotip ini lebih rawan terjadi pada tubuh
penari. Ego Streotip dalam dunia tari justru dilembagakan lewat pendidikan
tari. Pelembagaan ini pada mulanya berlangsung karena
tubuh-tari dibebani untuk bisa mewarisi teknik-teknik tari tradisi, terutama
lewat proyek revitalisasi tradisi yang begitu
saja menguasai lembaga pendidikan tari dan politik pariwisata. Pelembagaan teknik ini, bersama dengan
perkembangan kosmetika pertunjukan tari, kemudian justru
lebih banyak menghasilkan “salonisasi tradisi”.
Tubuh mereka cenderung menjadi “tubuh mitos”, tubuh yang
disungkup oleh mitos perempuan maupun lelaki. Untuk
lelaki menjadi tubuh yang “ngebagusi”; dan untuk perempuan menjadi
tubuh halus dan cantik. Konstruksi tubuh tari seperti ini bisa dibaca juga
sebagai “kromonisasi tubuh tari” yang
memang berkembang luas pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Suharto, terutama lewat politik
bahasa yang dikembangkan Orde Baru. Tubuh ini kehilangan
kontinyuitasnya dengan tubuh keseharian mereka. Tubuh mitos yang membiarkan dirinya terus memamah-biak tema-tema
mitologi setempat yang sering mereka pentaskan. Pelembagaan
tubuh tari seperti ini membuat kerja koreografi dan kerja tubuh penari
mengalami kesulitan besar untuk berhubungan
dengan tema-tema kontemporer mereka sehari-hari. Hal ini pula yang membuat “tari kontemporer” tidak
mudah tumbuh di Indonesia.
Dibandingkan dengan pergaulan kesenian lainnya, pergaulan tari
kiranya yang paling miskin dari pergaulan wacana.
Miskinnya pergaulan wacana ini tidak semata-mata karena lembaga
pendidikan tari kurang bertanggung jawab untuk mengembangkan wacana tari.
Tetapi terutama karena tubuh penari memang
sudah terlembaga menjadi tubuh-teknik; tubuh-studio yang terasing dari kehidupan luar. Tubuh-studio
ini lebih siap untuk dipotret daripada mengalami konflik dengan persoalan di luarnya. Tubuh-mitos
yang tidak lagi menari dengan kenyataan; tubuh yang memang
tidak berdialog dengan kenyataan di sekitarnya.
Wacana tari sulit untuk tumbuh dalam budaya tubuh seperti itu.
Tidak mudah membayangkan munculnya seniman tari
yang membawa visi lain atas keberadaan seni tari, membawa
gugatan yang radikal tentang apa itu seni tari. Kerja koreografi Sardono W.
Kusumo, yang memang lebih banyak melakukan
provokasi wacana menjelang pentas-pentas yang akan dilakukannya,
dalam pergaulan tari mungkin diam-diam lebih dilihat sebagai sebuah “esei seni pertunjukan”. Provokasi wacana yang
dilakukan Sardono hampir tidak memiliki dampak pada kerja pertunjukan-pertunjukan tari. Sardono
tampak berusaha mengubah budaya ini lewat pendidikan paska sarjana untuk tari di Solo. Usaha
ini tidak mudah berhasil, karena rata-rata mereka
yang mengikuti pendidikan paska sarjana ini
memang lebih didorong oleh motif untuk menjadi
dosen tari daripada menjadi seniman tari. Pengaruh kuat Sardono justru kembali berlangsung dalam model olah tubuh atau
sikap tubuh-tari dari penari-penari yang pernah
terlibat dalam proyek-proyek tari Sardono. Reproduksi sikap
tubuh ini, yang terlalu integral terhadap teknik, tidak hanya terjadi pada
penari-penari yang pernah bekerja dengan Sardono,
tetapi juga pada murid-murid Suprapto Suryodarmo, Boi G. Sakti dan kelompok-kelompok kuat lainnya.
Reproduksi sikap tubuh ini pada gilirannya menjadi tidak mudah melakukan kerja koreografi lain yang
ingin berangkat dari pembongkaran “streotip tubuhtari”. Kerja
penari akhirnya memang lebih banyak
berlangsung sebagai kerja melembagakan teknik-teknik
tari. Tubuh penari seperti sebuah perpustakaan
mati untuk teknik tari.
Dalam pencapaian teknik tari, Sardono maupun Suprapto
sebenarnya berangkat dari akar yang
sama, yaitu tubuh-ritual. Dasar latihan yang relatif sama bisa kita temukan
juga dalam pola latihan Lin Hwai Min dari Taiwan
(duduk melingkar berpegangan tangan, menyatukan nafas). Sardono
dan Suprapto menjadi berbeda karena Sardono membawa tubuh-ritual itu ke tingkat disain pertunjukan, sementara Suprapto
cenderung memperbesar dimensi ritualnya yang menghindari
eksekusi terhadap ending. Ending, pada
Suprapto, lebih ditentukan oleh intensitas dan
ketahanan tubuh untuk terus mengikuti jalan gerak yang mengalir.
Tubuh-ritual dan tubuh-mitos dalam tari Indonesia masa kini,
dalam perjalannya kemudian seperti
mendapatkan dinamika lain, yaitu lewat berlangsungnya “amerikanisasi tubuh
tari” di Indonesia. Fenomena ini digunakan
untuk melegitimasi lahirnya tari modern di Indonesia. Ia tampak terutama dalam menghadirkan
tema-tema gerak rampak dan konfiguratif yang cepat. Gerak
cepat ini digunakan untuk memompa waktu dan ruang lewat tarian-tarian kelompok. Sementara itu, tema-tema reflektif hampir
melulu dilakukan lewat gerak lambat penari tunggal. Bagong
Kusudiardjo menyebut tari modern ini dengan istilah “kreasi baru”. Lewat pemanggungan kabaret,
Guruh Sukarno Putra kemudian mengembangkannya lebih meriah. Silat pun mulai diterima sebagai
bentuk-bentuk tari pada saat “Amerikanisasi tubuh tari” ini berlangsung. Fenomena ini berlangsung
lewat seniman-seniman tari yang pernah belajar di Amerika
atau Taiwan.; fenomena yang kemudian menjadi kelanjutan dari “salonisasi
tradisi”dalam tari yang terjadi antara
tubuh-ritual Timur dengan tubuh-akrobatik Barat. Gerak “melempar
tubuh” atau “melengkungkan tubuh” ke belakang,
sudah menjadi latah dan menjadi
penanda kepiawaian seorang penari dalam kebanyakan
pertunjukan tari. Kehadiran Buttoh, baik lewat
pertunjukan-pertunjukan mereka maupun lewat workshop-workshop mereka, tidak menghasilkan dialog yang
cukup signifikan dalam dunia tari kita.
Kecuali pada
Sardono. Ini terjadi karena kehadiran Buttoh memang berlawanan dengan
kromonisasi tubuh-tari yang dianut kebanyakan
seniman-seniman tari kita. Buttoh mempercayai ada ruang danwaktu dalam tubuh,
sementara seniman tari kita lebih meyakini ruang dan waktu yang diciptakan
diluar oleh gerak. Seniman kita tak terlalu percaya bahwa yang tidak bergerak,
yang diam juga bisamenjadi tari. Ketimbang pada tari, Buttoh justru lebih memberi sumbangan cukup signifikan
padaperkembangan teater di Indonesia, yang jejaknya bisa dibaca pada
pertunjukan Teater Mandiri(Putu Wijaya), Teater Sae, juga Teater Garasi, dengan
kekhasan mereka masing-masing. Saya menduga
dialog semacam ini juga berlangsung pada kerja Teater Payung Hitam, walau
Rahman Sabur (sutradara Teater Payung
Hitam) bersikap kritis dan hati-hati dalam melihat fenomena tubuh yang dibawa Buttoh. Tony Broer (aktor
penting dalam Payung Hitam), memang pernah berhubungan
langsung dengan workshop Buttoh. Dan teror ruang, yang cukup banyak mewarnai pertunjukan-pertunjukan Payung Hitam
(terakhir lewat pentasnya Merah Bolong) bisa dibaca sebagai dialog yang cukup sungguh-sungguh
antara Payung Hitam dengan fenomena Buttoh. Dan teror
ruang, yang cukup banyak mewarnai
pertunjukan-pertunjukan Payung Hitam (terakhir lewat pentasnya
Merah Bolong) bisa dibaca sebagai dialog yang cukup sungguh-sungguh antara Payung Hitam dengan fenomena Buttoh.
Dialog ini sebenarnya membawa kita kembali, dengan kesadaran
baru, ke budaya tubuh “kesurupan” dalam
kerja teater-teater tradisi kita. Kesadaran baru
ini membuat kita cukup tercengang menyaksikan pentas-pentas Truntung, Sorengan
atau Jatilan dari banyak desa-desa gunung dalam
Festival Gunung yang setiap tahun dilakukan di Mendut,
Merapi atau Merbabu.
Standarisasi Tubuh dan Tubuh yang Membuat Bahasa
Saya melihat kehadiran Lin Hwai Min dari Cloud Gate Dance
Theatre, Taiwan, telah ikut mewarnai
panggung tari Indonesia hingga ke generasi tari masa kini. Karya-karya Lin Hwai
Min bisa dibaca bersama pertunjukan tari
Bagong Kusudiarjo, Gusmiati Suid, Boy G. Sakti, Dedy Luthan
dan para pelanjut mereka lewat akar tradisi masing-masing, yang memang jadi
latar karyakarya mereka. Kehadiran mereka seperti
mengukuhkan panggung tari Asia dalam pergaulan tari internasional
sebagai pentas tari yang naratif. Setiap adegan seperti harus mengandung cerita yang melatarinya, termasuk properti yang
digunakan. Salah satu karya Lin—yang menggunakan properti
kain dalam ukuran besar, di mana penari memanfaatkan efek gelombang kain dari
balik kain besar itu — masih juga bisa kita
temukan pengaruh besarnya pada kelompok-kelompok tari kita
hingga kini. Sardono W. Kusumo juga pernah menggunakannya dalam pertunjukan
Opera Diponogoro.
Beda Lin Hwai Min dari kelompok-kelompok tari di Indonesia
adalah: kelompok Lin (Cloud Gate
Dance Theatre Taiwan) sudah menjadi industri dengan managemen yang kompak, yang
kini merambah mencari penari dari Indonesia.
Lin melakukan standarisasi tubuh begitu rupa ke seluruh penarinya.
Penari-penari itu seperti datang dari satu pabrik dengan tinggi badan yang
rata-rata sama, dengan tingkat kelangsingan
badan yang juga rata-rata sama. Kehadiran
para penari standar Lin itu seperti sebuah
solusi untuk “tubuh baru” dalam dunia
tari yang harus memanggul beban tradisi dan kemoderenan sekaligus. Saya melihat
public awam sangat menyukai
karya-karya mereka yang memang menjadi “tari banget” dan “tubuh banget”. Karya-karya Lin, hampir selalu
dipentaskan di gedung pertunjukan dengan kapasitas penonton
lebih dari 1000 kursi. Imaji-imaji tradisi bergerak bersama dengan kesempurnaan
tubuh, dan warna Amerika yang juga mudah
ditemukan pada karya tersebut. Tubuh lelaki memenuhi representasi
“tubuh hero” yang seksi dengan gelombang-gelombang otot yang bermunculan di sana-sini \ seperti
riak air. Tubuh dengan tekstur otot itu kini sudah jadi bagian dari ikon
tentang tubuh lelaki yang
diidamkan—otot-otot lelaki yang sudah bisa dibentuk lewat operasi plastik. Tubuh penari dalam pentas Lin, tampak
cukup sibuk membuat rajutan ideologis antara “tubuh
studio” dengan “tubuh rakyat” lewat cerita-cerita rakyat yang diangkat ke atas
pentas. Jejakjejak tubuh-sosialis (tubuh-komunal
dengan kostum warna kelam keabu-abuan) dari politik Cina Komunis, juga masih bisa ditelusuri lewat
karya-karyanya, seperti halnya pemujaan kepada manusia.
Adegan penari yang diangkat ke atas dan berdiri di bahu atau punggung penari lainnya, hampir
selalu muncul dalam kebanyakan karyanya. Pengangkatan tubuh ini sudah jadi
semacam formula untuk melihat kehebatan
penari. Bingkai koreografi dan penyutradaraan dibuat sangat ketat dan tubuh penari harus patuh pada
bingkai ini. Bingkai koreografi yang ketat ini serta standarisasi
tubuh-tari yang dilakukan Lin, membuat karyanya menjadi tubuh seragam yang bergerak dalam konfigurasi satu ke
konfigurasi berikutnya. Struktur pertunjukan diturunkan sebagai pergantian dari bingkai satu ke bingkai
lainnya, bukan struktur yang mengalir, atau sebaliknya saling
bertabrakan. Musik harus bekerja keras menghidupkan struktur dengan
tubuh-studio seperti ini. Dan memang hampir seluruh
pentas Lin penuh dengan musik.
Gusmiati Suid tidak ragu
menghadirkan “tubuh rakyat” dengan memunculkan teater dalam pentas tarinya:
penari yang juga sekaligus aktor. Kita masih menemukan tubuh sehari-hari pada penari Gusmiati, dibandingkan dengan tubuh
penari Lin yang memang sudah “studio banget” — tubuh yang terasing dari matahari dan
kehidupan ramai. Ada alasan tradisional pada karya-karya Gusmiati yang berangkat dari Randai dan
silat Minang. Hampir seluruh seni pertunjukan tradisi kita memang merupakan rajutan dari sastra
lisan, musik, tari dan seterusnya.
Pada dekade 80-an, ketika dunia tari kita sedang merayakan
pertemuannya dengan tradisi, seorang
antropolog teater dari Swiss, Marianne Kunig, merasa seperti sedang berada dalam pasar yang memusingkan setiap kali
mengikuti pesta tari atau festival tari di Jakarta. Tari jadi seperti sebuah lubang kecil untuk
mengeluarkan paksa serentak kekayaan tradisi Indonesia dari
Asmat, Dayak, Aceh, Bugis, Bali, sampai Topeng Losari dan Ronggeng Gunung.
Tetapi sekaligus itu pula, sebagian besar
tubuh penari kita kehilangan kosmologinya. Tubuh itu siap menerima teknik dan memakai kostum tradisi
apa pun, tetapi kita tidak menemukan lagi alam pada tubuh
mereka. Rata-rata penari, yang memang sudah mengalami transformasi menjadi
“tubuh urban”, lewat tradisi, harus berhubungan
lagi dengan “tubuh agraris”. Hubungan yang buru-buru, yang
kemudian tampak tidak terlalu meyakinkan.
Fenomena ini menunjukkan betapa sebuah kerja koreografi
tidaklah sama dengan kerja antropologi.
Begitu juga dunia tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung antropologi yang artifisial, walaupun
pasar mungkin membutuhkannya. Dunia tari—yang dianggap sebagai seni yang paling dekat dengan
manusia, karena menggunakan tubuh—punya masalah yang
jauh lebih rumit dari bidang seni lainnya, justeru karena tubuh bukanlah media
yang netral.
Ketika tubuh diperlakukan hanya sebagai objek koreografi, dan
kerja koreografi diterima sebagai order politik identitas nasionalisme, maka
kesenian kehilangan jalan untuk bertemu dengan manusia,
untuk memasuki dialog antara waktu dan sejarah—tema-tema yang dialami tubuh. Kebanggaan memiliki tradisi, dirasakan
lebih bermakna daripada upaya memberi makna kepada kehidupan
aktual yang dialami langsung oleh tubuh penari. Cara membaca dunia tari seperti
ini, mungkin dianggap sebagai tuduhan tidak
terduga bahwa dunia tari telah membuat para penari tidak
bisa bertemu dengan realitas yang dialami oleh tubuhnya sendiri. Karena itu,
pertanyaan “apa itu tari dan apa itu tubuh
tari?” adalah upaya untuk membuat bagaimana tubuh bisa bertemu kembali dengan tari sebagai sebuah
pertemuan yang saling mencari dan meragukan, seakan-akan pertemuan itu dilakukan tanpa membuat
janji sebelumnya (tidak melalui konvensi). Pertemuan
seperti itu bagaikan pertemuan antara kata dengan kalimat, pertemuan antara anggota tubuh dengan gerak yang tidak
melulu didominasi oleh tubuh. Perjalanan anggota tubuh menjadi
kata, adalah perjalanan tubuh menjadi bahasa dalam tari. Dan perjalanan kerja
koreografi adalah kerja membuat arsitektur
dari tubuh tari.
Mugiyono Kasido merupakan fenomena lain yang layak dicermati.
Mugi—yang memang banyak bekerja
dengan dirinya sendiri sebagai penari tunggal yang dikoreografi oleh dirinya sendiri—berusaha mengubah tradisi yang
digaulinya menjadi sebuah transfer personal. Mugi bergulat
untuk menjadi “tubuh-masakini” yang berjalan dengan tradisi sebagai warnanya,
bukan sebagai bentuk. Perjalanan tubuh tari Mugi
sampai pada tingkat plastisitas sedemikian rupa yang membuatnya
bisa menjadi sebilah pedang atau karet yang memelintir dirinya sendiri. Kemampuan teknik
seperti ini bukanlah jalan paling penting yang harus ditempuh seorang seniman tari. Tidak jarang kemudian pertunjukan-pertunjukan
Mugi menjadi sama, walau dia bekerja dengan tema berbeda.
Streotip-streotip tradisi sebagian masih menjadi ikon dalam tarinya, terutama
soal gender (posisi perempuan-lelaki). Tubuh
teknisnya lalu seperti mengalami kesulitan melakukan personifikasi
terhadap tema-tema lain. Kedekatan seorang seniman tari dengan teknik yang dimilikinya sendiri, memang cenderung
membuat bahasa yang sama, seakan-akan Mugi tidak pernah
berkarya lagi. Teknik bisa menjadi kuburan untuk tubuh tarin itu sendiri.
Kehadiran performance art, terutama yang
dibawa oleh Melati Suryodarmo menjadi kutub radikal
lain untuk tubuh-streotip dunia tari yang berlangsung di Indonesia. Sebagai
seorang seniman seni pertunjukan, Melati
lebih mendahulukan cara membaca tubuh sendiri daripada membaca
tubuh-ego yang hidup dalam pergaulan wacana-wacana seni pertunjukan. Untuk
Melati, teknik tidak datang dari luar.
Teknik harus ditemukan oleh tubuh sendiri. Teknik menjadi kerja personal antara tubuh dengan memori-memori
luka yang dialaminya. Memori-memori inilah yang ditransformasi
ke publik, dan bukan tekniknya. Melati menganggap, penari menjadi narsis ketika
ia lebih banyak menyombongkan kemampuan
teknik yang dimilikinya dibandingkan dengan gagasan yang
mau disampaikannya.
Apa yang dilakukan Suprapto Suryodarmo dalam melahirkan
“tubuh-ritual” dalam tari, bertentangan
dengan “tubuh-konflik” atau “tubuh-luka” yang dibawa Melati Suryodarmo. Melati pernah memperingati tema Sumpah Pemuda
dengan cara membiarkan kereta kuda menyeret tubuhnya
yang terbalut gaun merah di padang salju di Jerman. Di sana hadir sebuah
pertunjukan dengan kesadaran grafis yang ikut
menentukan eksekusi visual dari hampir seluruh pertunjukan Melati. Tubuh gemuk Melati juga sekaligus
menjadi ikon perlawanan untuk streotip tubuh langsing perempuan.
Karena itu pertunjukan-pertunjukan Melati (yang memang belum banyak dilakukan
di Indonesia), tidak hanya berdampak pada
politik tubuh dalam dunia seni pertunjukan, tetapi juga politik
identitas pada streotip kecantikan perempuan. Politik identitas itu berlangsung
ketika industry obat-obat pelangsing tubuh telah
menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek kapitalisasi yang terus dikembangkan.
Seniman performance art lainnya, seperti Christiawan, yang
banyak mengangkat tematema kekerasan,
penyiksaan pada diri sendiri (antara lain menyiram satu nampan cairan lilin
panas ke kepalanya yang gundul), seperti usaha
menciptakan “pencerahan bersama” lewat tubuh tersakiti
yang bisa dihayati langsung oleh penonton. Cara ini mengingatkan kita akan
jalan spiritual yang ditempuh lewat penyiksaan diri
yang dilakukan banyak para yogi India. Christiawan yang juga bergelut dengan multimedia, kini mulai
bekerja dengan cyber grafis, mencari kemungkinankemungkinan baru untuk membuat pertunjukan interaktif
lewat internet.
Tubuh Naratif, Realisme dan Politik Identitas
Cara membaca seperti yang saya jabarkan di atas, saya harap
bisa cukup menjelaskan bahwa
tubuh (baik tari maupun teater) bukanlah sebuah dunia yang berdiri sendiri.
Tubuh mudah terperangkap dalam ego-streotip
yang membentuknya. Penggunaan tradisi sebagai benteng identitas,
juga mengandung resiko yang tidak sederhana dalam konteks bagaimana politik
identitas bergulir di dunia tari. Hubungan
tari yang berlebihan dengan tradisi, tidak membuat tubuh-tradisi otomatis dibaca sebagai tubuh-identitas.
Tubuh-identitas lebih bermain di tingkat sikap (ideologis) dan bukan di tingkat bentuk.
Tubuh-identitas yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari
primordialisme. Pada gilirannya tubuh-identitas yang dikonstruksi
sebagai tubuh-tradisi, itu bisa dibaca dengan sinis sebagai “sampah lokal” yang
gagap menghadapi pergaulan dunia dan globalisasi
tari.
Beberapa pertunjukan tari dalam festival-festival bertaraf
internasional yang kita miliki, baik di
Jogjakarta, Jakarta, Solo maupun Surabaya, menyisakan sejumlah hal yang layak dipikirkan. Ketika tari kita bermain satu agenda
dengan kelompok tari dari luar, kebanyakan pertunjukan tari kita tampak seakan-akan dihasilkan dari
kerja koreografi yang tidak memiliki sejarah, dan kerja tubuh-tari
yang kehilangan realitas kesehariannya. Tubuh yang kehilangan tema. Bagi tubuh yang tidak punya ruang cukup
untuk bergaul dengan temanya sendiri, ketergantungan
kepada musik pengiring tari akan menjadi berlebihan. Begitu tingginya ketergantungan ini, hingga sampai kepada
tahap di mana pentas tari bisa bergeser menjadi pentas musik,
dan tarian mundur hanya sebagai latar “hiburan visual” untuk musik. Hubungan
tari dengan
musik dalam kondisi ini menjadi hubungan yang tidak sehat untuk
perkembangan keduanya. Jurusan
musik dalam lembaga pendidikan seni seakan-akan memang didirikan untuk meladeni jurusan tari yang membutuhkan musik
pengiring. Pada kenyataannya, sebagian pemusik memang lebih
banyak hidup dari proyek-proyek tari daripada proyek-proyek musik. Dekatnya
pergaulan tari dengan musik, ditimpali oleh
jauhnya jarak pergaulan tari dengan seni rupa. Di
sisi lain, teater juga mengalami hal serupa, yaitu pergaulan yang timpang
dengan naskah. Kerja teater pada
kebanyakan kelompok teater diawali dengan keputusan memilih naskah. Tanpa cerita, teater seakan-akan menjadi
tidak mungkin dimengerti. Sebagian besar dari liputanliputan media massa cetak atas pertunjukan teater,
juga lebih banyak berangkat dari synopsis cerita
yang dipentaskan. Beberapa lembaga, secara kontinyu menyelenggarakan
workshopworkshop penulisan naskah. Seakan-akan
penulisan naskah tidak beda jauh dari teknik dan teori tulis-menulis,
tanpa terlalu perduli dengan konsep dramaturgi dari teater yang akan
dikembangkan oleh sang penulis.
Ketergantungan teater terhadap cerita, bisa dilacak lebih jauh
sebagai bagian dari kerja budaya
lisan yang membentuknya. Dan pada gilirannya, ketergantungan itu menggiring
tubuh aktor menjadi “tubuh-naratif” yaitu tubuh
yang mengabdi pada cerita; tubuh yang banyak bekerja meneruskan
pesan-pesan di luar peran. Mengatakan “tidak” sambil menggeleng-gelengkan
kepala atau telapak tangan berkali-kali,
adalah contoh yang paling mudah ditemukan dari “tubuh-naratif” ini di banyak pertunjukan. Tubuh-naratif
itu tidak berbeda jauh dari tubuh-streotip, terutama dalam memerankan tokoh ibu, ayah dan tokoh-tokoh
lain yang sudah menjadi streotip. Terjadilah perubahan
karakter peran yang berusia pendek lewat tubuh dan kostum yang dikenakan aktor.
Saya mengira tubuh-naratif ini adalah hasil konstruksi tak
sadar dari politik budaya lisan yang
berlangsung dalam pergaulan sehari-hari. Banyak pertemuan sehari-hari kita
merupakan bagian dari aktifitas politik
budaya lisan. Politik ini direproduksi dengan menyampaikan informasi sebagai informasi yang telah dibumbui
untuk memperlihatkan posisi sosial dari masing-masing yang
terlibat dalam kegiatan budaya lisan itu. Sisi paling negatif dari “pembubuan”
atau kosmetika terhadap informasi itu adalah:
masing-masing pelaku budaya lisan membuat versinya sendiri atas pusat informasi yang sedang dibicarakan.
Versi-versi cerita itu pada gilirannya akan menghasilkan “konflik verbal”, yang kemudian menjurus
jadi pengelompokan isu.
Versi-versi ini sering dibuat dalam konteks peristiwa politik
atau peristiwa lain yang sedang menjadi
isu nasional, yaitu dengan cara mengait-ngaitkan peristiwa satu dengan
peristiwa lainnya sehingga lahirlah semacam sebuah
“skenario folklor”. Skenario itu memainkan dengan cerdas jalinan antara konteks, teks dan refren.
Seperti teori konspirasi, keberkaitan yang memukau kadang
jauh lebih penting daripada fakta yang ada. Budaya lisan memang telah menjadi
semacam “teater sastra dan bahasa” dalam
pergaulan sosial kita. Tubuh-naratif hidup dalam budaya lisan kita seperti punokawan dalam wayang, atau
tubuh yang dipelesetkan dalam ketoprak. Kehidupan
teater di Bandung, yang sangat kuat dengan realismenya, terutama yang tampak pada STB Suyatna Anirun, tidak
mudah keluar dari perangkap realisme budaya lisan ini. Perkembangan
multimedia dan seni instalasi mulai digunakan untuk bisa keluar dari terungku tubuh-naratif ini. Teater Payung
Hitam melakukan perjalanan bolak-balik dari teater ke multimedia untuk menemukan dramaturgi
mereka sendiri. Realisme menurut hemat saya
terkesan cukup ragu untuk mengembangkan dirinya di Indonesia.
Terutama karena realism bermain
di tingkat politik identitas. Realisme yang tidak bias memenuhi
persyaratan identitas budaya dalam pentasnya (kostum, setting, dan ikon-ikon
identitas lainnya) hanya akan menghasilkan
realisme yang miskin. Teater Populer yang dikembangkan
Teguh Karya berusaha memecahkan kebocoran identitas ini dengan
mengubah sebagian pertunjukannya menjadi semacam
teater simbolik. Dan Teater Lembaga berusaha teguh dengan realisme material ini, dan pada gilirannya
justru banyak dikritik sebagai “teater barat”. Pertunjukan pertunjukan Bengkel
Teater Rendra tidak bekerja dengan dramaturgi tunggal seperti ini. Pertunjukan-pertunjukan Rendra menggunakan
dramaturgi lebih berdasarkan pada cara
melihat naskah yang akan dipentaskan. Kehadiran Teater Kecil, di mana Arifin C.
Noer banyak menimba pada tradisi Cirebonan dan
Islam, justru seperti tawaran baru terhadap realisme yang bertopang langsung
pada budaya lisan. Pertunjukan-pertunjukannya
menjadi imajinatif. Agus Nur Amal, yang banyak melakukan solo performance dengan Teater PM Tohnya, bisa
dilihat sebagai pencapaian lain dari pertunjukan teater
yang menimba langsung kekuatan budaya lisan. Peralatan-peralatan sederhana yang digunakan, ikut menjadi bagian penting
dari kerja budaya lisan dalam pertunjukannya yang lebih banyak
dilakukan di luar gedung. Atau Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa teaternya. Dan Teater
Gandrik dengan aktor utamanya, Butet Kertarajasa, dengan sadar menggunakan plesetan sebagai salah satu
bentuk penyadaran yang diplesetkan, yang banyak ditemukan
dalam teater-teater tradisi kita, terutama ketoprak. Realisme
dalam teater, umumnya memang berlangsung di teater-teater yang datang dari kampus. Teater Lembaga, Teater Gajah Mada,
termasuk STB Bandung, memang membangun realisme
dalam pertunjukan mereka. Teater Sahid dari IAIN Jakarta berusaha keluar
kemudian menempuh jalan teater di luar
kampus. Sebagian kelompok, teater ini memang menggunakan realisme sebagai lab untuk pendidikan
aktor. Aktor harus melewati realisme sebagai prosedur keaktoran
yang akan dijalaninya. Pada umumnya, realisme digunakan untuk memperlihat alur konflik dan peran-peran yang bermain di
pusat terjadinya konflik. Penyadaran menjadi ideologis dalam
pembeberan peta konflik ini. Pencapaian aktor dalam teater realis, terjadi
ketika tubuh konflik sampai kepada tubuh
dramatiknya. Karena itu pula naskah yang digunakan banyak bermain di tingkat tragedi. Tidak mudah untuk membaca tubuh-konflik
ini dalam tari. Kedalaman dramatik dalam tari, kadang
cukup ditempuh dengan teknik vibrasi untuk menggetarkan tubuh. Saya
membayangkan tubuh-konflik ini seharusnya cukup
banyak terjadi pada tubuh penari. Tubuh yang sehari-hari tidak mengenakan pakaian tradisi, ketika harus
mengenakan pakaian tradisi dalam karya mereka, menurut
saya sudah menjalani konflik ketubuhan sampai pada takaran tertentu. Konflik
ini tidak pernah diangkat menjadi isu penting
dalam dunia tari kita, karena penari sudah diwajibkan untuk memaksakan tubuhnya mengenakan pakaian
tradisi untuk menari. Dunia tari kita seperti sebuah keluarga
yang memang tidak memiliki sejarah konflik antara tubuh tradisi dengan tubuh kontemporer mereka. Ini jadi semacam
kepribadian ganda yang berlangsung dalam dunia tari. Atau:
seni pertunjukan pada umumnya, termasuk teater, memang bekerja dengan kepribadian ganda antara realitas
keseharian dan realitas pentas yang mereka jalani.
Tubuh, Gaya Hidup dan Budaya Urban
Hampir sebagian besar pertunjukan teater di Jogjakarta
akhir-akhir ini, memasukkan gaya hidup
modern lewat multi media. Gaya hidup dalam hal ini lebih banyak dikonstruksi
lewat ikon-ikon kehidupan
mall dan dunia digital. Guncangan komunikasi ponsel ikut melanda teater bersamaan dengan kebutuhan besar untuk
menghasilkan “pentas-pentas naratif”. Kecerewetan teks
berlangsung bersamaan dengan kecerewetan multi media. Arus penggunaan set-set
ala tv rupanya juga ikut melanda tata
panggung teater, dan diperlakukan sebagai ikon utama untuk mengonstruksi gaya hidup itu. Saya mencoba
membaca fenomena itu sebagai bagian dari pertumbuhan budaya urban dalam teater. Teater Garasi rupanya
berdiri di depan dalam pengembangan budaya urban ini dalam
pertunjukan mereka. Terutama lewat pentas mereka Waktu Batu 3. Walau
memang tidak mustahil
bahwa Teater Garasi dalam pentas berikutnya akan keluar dari konstruksi budaya
urban, namun dalam proyek solo performance
yang dilakukan oleh aktor-aktor Garasi tengah tahun 2007 ini, tampak benar betapa sebagian besar
pertunjukan mereka memang bersandar pada budaya urban.
Dalam kebudayaan ini, tubuh urban lebih banyak dibentuk oleh media komunikasi
dan transportasi yang digunakannya, dan bukan
lagi melulu oleh nilai-nilai. Mereka mereproduksi gaya hidup
seperti pergantian musim. Karena itu dalam tubuh urban, nilai-nilai tradisi
tidak lagi dibaca sebagai nilai yang harus diwarisi.
Tradisi hanyalah salah satu layer di antara layer-layer lain
yang mungkin mereka gunakan dalam pertunjukan.
Istilah layer ini saya gunakan seperti layer dalam
program-program grafis komputer.
Teater urban membuat pertunjukan mereka seperti panggung yang
melahap apa saja yang telah menjadi ikon publik,
termasuk sofa, halte bis atau kelompok band yang ikut hadir dalam pentas. Teater Garasi, dengan kemampuan
“penyutradaraan grafis” yang ditunjukkan Yudy Ahmad Tajudin
dan tim visualnya terhadap semua elemen visual yang bergerak di atas panggung, merupakan sebuah kerja yang penting dalam
melahirkan teater urban seperti ini. Saya mengira penyutradaraan
grafis ini merupakan kerja baru dalam teater di Indonesia. Semua elemen visual dibuat memiliki posisinya sendiri, seperti
layer-layer
dalam
kerja grafis. Masing-masing layer menjalankan
perannya dengan memperhitungkan kemungkinan proyeksi ruang yang terjadi. Karena itu ruang pertunjukan juga bisa
ikut melebar hingga ke dinding penonton atau ke ruang duduk
penonton. Proyeksi seperti ini lebih merupakan proyeksi grafis dan bukan
proyeksi teaterikal. Proyeksi teaterikal
memang sudah berlangsung sejak tahun 70-an sebelumnya, ketika pertunjukan Putu Wijaya membawa penonton
hingga ke luar gedung, dan pertunjukan dilanjutkan di
luar.
Benny Yohannes yang sebelumnya menyutradarai Teater Republik,
kini menempuh jalan solo performance yang
juga menggunakan multimedia. Dalam konteks pertunjukan-pertunjukan Benny Yohannes yang memang verbal,
penggunaan multimedia ini terkesan sebagai usaha untuk bisa keluar dari tubuh-naratif dan
sekaligus dari jebakan linieritas struktur, terutama lewat gencarnya pembicaraaan di sekitar
wacana-wacana post-modernisme di mana Benny juga menjadi
salah seorang pembicaranya. Tetapi penggunaan multimedia yang dilakukan Benny
justru menghasilkan pertunjukan yang
nyaris sama cerewetnya dengan naskah yang ditulis Benny sendiri.
Teater naratif dan tubuh naratif seperti sebuah perangkap permanen yang tidak
mudah dibongkar kembali oleh pelakunya sendiri. Penyutradaraan yang tidak memiliki
kemampuan grafis dalam mengeksekusi dan menjadikan
elemen visual sebagai ikon dalam pertunjukannya, hanya akan menghasilkan kecerewetan baru di atas panggung teater.
Kecerewetan ini juga terjadi dalam proyek solo performance yang dilakukan
aktor-aktor Teater Garasi, termasuk Teater Gardanalla yang baru saja mementaskan Jam Sembilan Kita Bertemu di
Jogjakarta. Penggunaan multimedia menjadi sama naratifnya
dengan naskah yang mereka pentaskan, dan kehilangan alasan yang cukup
signifikan untuk menggunakannya. Kemampuan
kerja multimedia dan kemampuan kerja grafis memang hampir
tidak terpisahkan dalam menurunkan pertunjukan seperti ini. Multimedia tidak
bisa berjalan masuk dengan melenggang kangkung
begitu saja ke dalam panggung teater tanpa penguasaan grafis
terhadap elemen-elemen visual yang berlangsung di dalamnya. Kebutuhan teater yang lebih besar untuk
bisa mengakses multimedia, ternyata tidak berpengaruh
signifikan terhadap estetika penulisan naskah teater dalam melahirkan
pertunjukanpertunjukan naratif.
Begitu pula, kebutuhan itu tidak terlalu berpengaruh terhadap estetika ruang dalam pemilihan ruang pentas dalam
melahirkan pertunjukan-pertunjukan di dalam gedung. Seni rupa pentas akhirnya cenderung menjadi
sama naratifnya dengan pilihan teks yang mereka pentaskan.
Sangat mungkin budaya lisan memainkan peran tak sadar untuk ikut menyeret seni rupa pentas menjadi sama naratifnya dengan
naskah yang dipentaskan. Tubuh aktor akhirnya cukup
pontang-panting untuk melayani multimedia yang
naratif pada satu sisi, dan pada sisi lainnya
memainkan naskah yang juga sama naratifnya. Yang tampak kemudian adalah tubuh
yang sedang bermutasi menjadi screen dan
sebaliknya screen yang sedang bermutasi menjadi tubuh teater.
Dan gaya hidup digunakan untuk bisa menerima mutasi ini dalam teater.
Gaya hidup urban ini melanda dunia tari secara lebih harafiah
lagi. Pengaruhnya terlihat pada
munculnya tubuh-tubuh pop dengan pakaian minim dan hadir mirip penari latar.
Kembali pengaruh
tarian-tarian ala tv melanda mereka, terutama jenis Hip-Hop di mana Jecko
Sempoa,
salah seorang koreografer di Jakarta ikut mengembangkannya
dalam program TV. Fenomena ini memang bisa dibaca sebagai reaksi terhadap
perkembangan tubuh-hedonis yang hidup dalam budaya
urban. Tetapi sekali lagi, seperti yang juga terjadi dalam teater, kemampuan
untuk melakukan koreografi grafis dalam
mengesekusi ikon-ikon visual yang digunakan, menjadi unsure yang memegang peran penting. Pesan-pesan
semiotik menjadi utama, karena memang bahasa visual
bergaul sangat dekat dengan bahasa tubuh dalam jenis tari seperti ini. Jecko
mungkin masih akan memiliki jalan panjang;
karya-karyanya mulai menghadirkan tubuh-pop dengan latar belakang pergaulan dalam tradisi Papua. Pertemuan tubuh tari dengan perkembangan
media di luar tari adalah pertemuan yang memang
tidak terelakkan. Jurusan tari di ISI Solo mulai membuka mata kuliah editing
video, yang tampaknya merupakan usaha untuk
menjawab pertemuan tari dengan multimedia yang tidak terelakkan
ini. Hal yang sama berlangsung juga pada jurusan teater di STSI Bandung.
Permainan politik identitas akan berlangsung lebih rapat lagi
baik di panggung teater maupun
di panggung tari. Tetapi yang merasakan langsung konflik-konfliknya tak lain
adalah tubuh-aktor dan tubuh-tari.
Tubuh-aktor dan tubuh-tari menjadi sasaran utama dari seluruh dampak politik identitas ini lewat
perkembangan multimedia. Fenomena ini berkembang parallel dengan pengembangan new-media, yang kini
banyak digarap lewat program-program senirupa
yang dilakukan antara lain oleh Cemeti Art House dan Ruang
Rupa. Pertemuan yang lebih dialogis lagi, yaitu
antara seni pertunjukan dengan seni rupa akan merupakan
tema yang cukup panjang bergulir dalam pergaulan kesenian kita. Politik identitas
kini tidak lagi bermain dalam pengertian warna
yang dibawa baik oleh kelompok teater maupun kelompok
tari tertentu, melainkan lewat kerja pergaulan antar disiplin. Hubungan tari
dan teater dengan pergaulan ini akan ikut
membawa kembali bidang kesenian lainnya untuk berkerja dengan tubuh. Para seniman yang bertahan dengan
identitas bidang seninya masing-masing mungkin akan
menghadapi kebingungan baru berhadapan dengan arus baru ini. Arus ini pada
intinya mempertanyakan kembali posisi
individualitas seniman dalam kerja kesenian yang dilakukannya. Jangan takut, kalau ingin
melakukan pertunjukan teater lewat SMS atau pertunjukan interaktif
lewat internet, lakukan saja dengan merdeka. Jangan takut, kalau
pertunjukan kita tidak dianggap
sebagai pertunjukan teater atau tari. Lakukanlah apa yang paling dekat dengan
yang bisa kita dilakukan. Politik identitas
kini memang sedang membuka medan bagi terjadinya banyak tabrakan.
Dan hati-hatilah dengan budaya lisan yang memang memiliki alurnya sendiri dalam pembentukan isu, dalam mengidentifikasi
maupun memecahkan konflik. Melakukan pemecahan menjadi
lebih berarti daripada melakukan pemusatan lewat “olah mulut” dalam
pengembangan isu pergaulan bersama ini.
By Afrizal
Malna, penyair
dan pengamat seni pertunjukan.
Sumber : Gurat Cipta
0 komentar: